Perjalanan Hidup Manusia
TIKET PERJALANAN MANUSIA
( IDENTITAS PENUMPANG )
Nama* : Annas/Manusia
Tempat Asal* : Tanah
Alamat* : Planet Bumi
( KETERANGAN PERJALANAN )
Terminal Keberangkatan* : Dunia
Transit* : Alam Kubur
Terminal Kedatangan* : Padang Mahsyar
Tujuan Akhir* : Syurga/Neraka
Jam Keberangkatan* : Surprise/Menunggu izra'il Menjemput
Check In* : Akan Dilakukan Oleh Malaikat Maut
( BARANG BAWAAN YANG DIIJINKAN )
1. Kain Kafan
2. Iman
3. Amal Sholih
Niat
Sesungguhnya amal yang ikhlas tapi tidak benar, ia tidak akan diterima, begitu pula ketika amal itu benar tapi tidak ikhlas… Ia tidak akan diterima hingga menjadi amal yang ikhlas dan benar. (Ikhlas jika dilakukan karena Alloh, dan benar jika dilakukan sesuai tuntunan
Oleh Karena itu... berhati hatilah dalam menjaga pikiran dan sikap kita. Terus bersihkan hati, agar kita semakin mudah dalam merasakan kehadiran dan pengawasan Allah.
Seseorang yang tauhidnya bagus, dapat dipastikan bahwa akhlaknya juga terjaga
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah di antara kalian orang yang terbaik amalnya.” (QS. al-Mulk : 2)
Perjalanan Menuju Akhirat
Hari akhirat, hari setelah kematian yang wajib diyakini kebenarannya oleh setiap orang yang beriman kepada Allah ta’ala dan kebenaran agama-Nya. Hari itulah hari pembalasan semua amal perbuatan manusia, hari perhitungan yang sempurna, hari ditampakkannya semua perbuatan yang tersembunyi sewaktu di dunia, hari yang pada waktu itu orang-orang yang melampaui batas akan berkata dengan penuh penyesalan.
يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي
“Duhai, alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.” (Qs. Al Fajr: 24)
Maka
seharusnya setiap muslim yang mementingkan keselamatan dirinya
benar-benar memberikan perhatian besar dalam mempersiapkan diri dan
mengumpulkan bekal untuk menghadapi hari yang kekal abadi ini. Karena
pada hakikatnya, hari inilah masa depan dan hari esok manusia yang
sesungguhnya, yang kedatangan hari tersebut sangat cepat seiring dengan
cepat berlalunya usia manusia. Allah ta’ala berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا
قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا
تَعْمَلُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap
diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al Hasyr: 18)
Dalam
menafsirkan ayat di atas Imam Qotadah berkata: “Senantiasa tuhanmu
(Allah) mendekatkan (waktu terjadinya) hari kiamat, sampai-sampai Dia
menjadikannya seperti besok.” (Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab
beliau Ighaatsatul Lahfan (hal. 152 – Mawaaridul Amaan). Beliau (Abu
Qatadah) adalah Qotadah bin Di’aamah As Saduusi Al Bashri (wafat setelah
tahun 110 H), imam besar dari kalangan tabi’in yang sangat terpercaya
dan kuat dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. (lihat kitab Taqriibut Tahdziib, hal. 409)
Semoga
Allah ta’ala meridhai sahabat yang mulia Umar bin Khattab radhiyallahu
‘anhu yang mengingatkan hal ini dalam ucapannya yang terkenal:
“Hisab-lah (introspeksilah) dirimu (saat ini) sebelum kamu di-hisab
(diperiksa/dihitung amal perbuatanmu pada hari kiamat), dan timbanglah
dirimu (saat ini) sebelum (amal perbuatan)mu ditimbang (pada hari
kiamat), karena sesungguhnya akan mudah bagimu (menghadapi) hisab besok
(hari kiamat) jika kamu (selalu) mengintrospeksi dirimu saat ini, dan
hiasilah dirimu (dengan amal shaleh) untuk menghadapi (hari) yang besar
(ketika manusia) dihadapkan (kepada Allah ta’ala):
يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لا تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ
“Pada
hari itu kamu dihadapkan (kepada Allah), tiada sesuatupun dari
keadaanmu yang tersembunyi (bagi-Nya).” (Qs. Al Haaqqah: 18).
(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab beliau Az Zuhd (hal. 120),
dengan sanad yang hasan)
Senada
dengan ucapan di atas sahabat yang mulia Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya dunia telah pergi meninggalkan
(kita) sedangkan akhirat telah datang di hadapan (kita), dan
masing-masing dari keduanya (dunia dan akhirat) memiliki pengagum, maka
jadilah kamu orang yang mengagumi/mencintai akhirat dan janganlah kamu
menjadi orang yang mengagumi dunia, karena sesungguhnya saat ini
(waktunya) beramal dan tidak ada perhitungan, adapun besok (di akhirat)
adalah (saat) perhitungan dan tidak ada (waktu lagi untuk) beramal.”
(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Az Zuhd (hal. 130) dan dinukil oleh
Imam Ibnu Rajab Al Hambali dalam kitab beliau Jaami’ul ‘uluumi wal hikam
(hal. 461)).
Jadilah kamu di dunia seperti orang asing…
Dunia
tempat persinggahan sementara dan sebagai ladang akhirat tempat kita
mengumpulkan bekal untuk menempuh perjalanan menuju negeri yang kekal
abadi itu. Barangsiapa yang mengumpulkan bekal yang cukup maka dengan
izin Allah dia akan sampai ke tujuan dengan selamat, dan barang siapa
yang bekalnya kurang maka dikhawatirkan dia tidak akan sampai ke tujuan.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita sikap yang benar
dalam kehidupan di dunia dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam: “Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau orang yang
sedang melakukan perjalanan.” (HR. Al Bukhari no. 6053)
Hadits
ini merupakan bimbingan bagi orang yang beriman tentang bagaimana
seharusnya dia menempatkan dirinya dalam kehidupan di dunia. Karena
orang asing (perantau) atau orang yang sedang melakukan perjalanan
adalah orang yang hanya tinggal sementara dan tidak terikat hatinya
kepada tempat persinggahannya, serta terus merindukan untuk kembali ke
kampung halamannya. Demikianlah keadaan seorang mukmin di dunia yang
hatinya selalu terikat dan rindu untu kembali ke kampung halamannya yang
sebenarnya, yaitu surga tempat tinggal pertama kedua orang tua kita,
Adam ‘alaihis salam dan istrinya Hawa, sebelum mereka berdua diturunkan
ke dunia.
Dalam
sebuah nasehat tertulis yang disampaikan Imam Hasan Al Bashri kepada
Imam Umar bin Abdul Azizi, beliau berkata: “…Sesungguhnya dunia adalah
negeri perantauan dan bukan tempat tinggal (yang sebenarnya), dan
hanyalah Adam ‘alaihis salam diturunkan ke dunia ini untuk menerima
hukuman (akibat perbuatan dosanya)…” (Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam
kitab beliau Ighaatsatul Lahfaan (hal. 84 – Mawaaridul Amaan))
Dalam mengungkapkan makna ini Ibnul Qayyim berkata dalam bait syairnya:
Marilah (kita menuju) surga ‘adn (tempat menetap) karena sesungguhnya itulah
Tempat tinggal kita yang pertama, yang di dalamnya terdapat kemah (yang indah)
Akan tetapi kita (sekarang dalam) tawanan musuh (setan), maka apakah kamu melihat
Kita akan (bisa) kembali ke kampung halaman kita dengan selamat?
(Miftaahu Daaris Sa’aadah (1/9-10), juga dinukil oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 462))
Sikap
hidup ini menjadikan seorang mukmin tidak panjang angan-angan dan
terlalu muluk dalam menjalani kehidupan dunia, karena “barangsiapa yang
hidup di dunia seperti orang asing, maka dia tidak punya keinginan
kecuali mempersiapkan bekal yang bermanfaat baginya ketika kembali ke
kampung halamannya (akhirat), sehingga dia tidak berambisi dan berlomba
bersama orang-orang yang mengejar dunia dalam kemewahan (dunia yang
mereka cari), karena keadaanya seperti seorang perantau, sebagaimana dia
tidak merasa risau dengan kemiskinan dan rendahnya kedudukannya di
kalangan mereka.” (Ucapan Imam Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jaami’ul
‘Uluumi Wal Hikam (hal. 461), dengan sedikit penyesuaian)
Makna
inilah yang diisyaratkan oleh sahabat yang meriwayatkan hadits di atas,
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu ketika beliau berkata: “Jika kamu
(berada) di waktu sore maka janganlah tunggu datangnya waktu pagi, dan
jika kamu (berada) di waktu pagi maka janganlah tunggu datangnya waktu
sore, serta gunakanlah masa sehatmu (dengan memperbanyak amal shaleh
sebelum datang) masa sakitmu, dan masa hidupmu (sebelum) kematian
(menjemputmu).” (Diriwayatkan oleh imam Al Bukhari dalam kitab Shahihul
Bukhari, no. 6053).
Bahkan
inilah makna zuhud di dunia yang sesungguhnya, sebagaimana ucapan Imam
Ahmad bin Hambal ketika beliau ditanya: Apakah makna zuhud di dunia
(yang sebenarnya)? Beliau berkata: “(Maknanya adalah) tidak panjang
angan-angan, (yaitu) seorang yang ketika dia (berada) di waktu pagi dia
berkata: Aku (khawatir) tidak akan (bisa mencapai) waktu sore lagi.”
(Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jaami’ul ‘Uluumi Wal
Hikam (hal. 465))
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوى
Berbekallah, dan sungguh sebaik-baik bekal adalah takwa
Sebaik-baik
bekal untuk perjalanan ke akhirat adalah takwa, yang berarti
“menjadikan pelindung antara diri seorang hamba dengan siksaan dan
kemurkaan Allah yang dikhawatirkan akan menimpanya, yaitu (dengan)
melakukan ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat kepada-Nya.” (Ucapan
Imam Ibnu Rajab dalam kitab Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 196))
Maka
sesuai dengan keadaan seorang hamba di dunia dalam melakukan ketaatan
kepada Allah dan meninggalkan perbuatan maksiat, begitu pula keadaannya
di akhirat kelak. Semakin banyak dia berbuat baik di dunia semakin
banyak pula kebaikan yang akan di raihnya di akhirat nanti, yang berarti
semakin besar pula peluangnya untuk meraih keselamatan dalam
perjalanannya menuju surga.
Inilah
diantara makna yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam sabda beliau: “Setiap orang akan dibangkitkan (pada hari
kiamat) sesuai dengan (keadaannya) sewaktu dia meninggal dunia.” (HR.
Muslim, no. 2878). Artinya: Dia akan mendapatkan balasan pada hari
kebangkitan kelak sesuai dengan amal baik atau buruk yang dilakukannya
sewaktu di dunia. (Lihat penjelasan Al Munaawi dalam kitab beliau
Faidhul Qadiir (6/457))
Landasan
utama takwa adalah dua kalimat syahadat: Laa ilaaha illallah dan
Muhammadur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu,
sebaik-baik bekal yang perlu dipersiapkan untuk selamat dalam perjalanan
besar ini adalah memurnikan tauhid (mengesakan Allah ta’ala dalam
beribadah dan menjauhi perbuatan syirik) yang merupakan inti makna
syahadat Laa ilaaha illallah dan menyempurnakan al ittibaa’ (mengikuti
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi perbuatan
bid’ah) yang merupakan inti makna syahadat Muhammadur Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka
dari itu, semua peristiwa besar yang akan dialami manusia pada hari
kiamat nanti, Allah akan mudahkan bagi mereka dalam menghadapinya sesuai
dengan pemahaman dan pengamalan mereka terhadap dua landasan utama
Islam ini sewaktu di dunia.
Fitnah
(ujian keimanan) dalam kubur yang merupakan peristiwa besar pertama
yang akan dialami manusia setelah kematiannya, mereka akan ditanya oleh
dua malaikat: Munkar dan Nakir (Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits
riwayat At Tirmidzi (no. 1083) dan dinyatakan shahih oleh Syaikh Al
Albani dalam Ash Shahiihah, no. 1391) dengan tiga pertanyaan: Siapa
Tuhanmu?, apa agamamu? dan siapa nabimu? (Sebagaimana yang disebutkan
dalam hadits shahih riwayat Ahmad (4/287-288), Abu Dawud, no. 4753 dan
Al Hakim (1/37-39), dinyatakan shahih oleh Al Hakim dan disepakati oleh
Adz Dzahabi.). Allah hanya menjanjikan kemudahan dan keteguhan iman
ketika mengahadapi ujian besar ini bagi orang-orang yang memahami dan
mengamalkan dua landasan Islam ini dengan benar, sehingga mereka akan
menjawab: Tuhanku adalah Allah, agamaku adalah Islam dan Nabiku adalah
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah ta’ala berfirman:
يُثَبِّتُ
اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ
اللَّهُ مَا يَشَاءُ
“Allah
meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’
dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan Allah menyesatkan
orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (Qs.
Ibrahim: 27)
Makna
‘ucapan yang teguh’ dalam ayat di atas ditafsirkan sendiri oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih yang
diriwayatkan oleh sahabat yang mulia Al Bara’ bin ‘Aazib radhiyallahu
‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang
muslim ketika ditanya di dalam kubur (oleh Malaikat Munkar dan Nakir)
maka dia akan bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah
(Laa Ilaaha Illallah) dan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah utusan Allah (Muhammadur Rasulullah), itulah (makna) firman-Nya:
Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang
teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.” (HR.Al Bukhari (no.
4422), hadits yang semakna juga diriwayatkan oleh Imam Muslim (no.
2871))
Termasuk
peristiwa besar pada hari kiamat, mendatangi telaga Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang penuh kemuliaan, warna airnya lebih
putih daripada susu, rasanya lebih manis daripada madu, dan baunya lebih
harum daripada minyak wangi misk (kesturi), barangsiapa yang meminum
darinya sekali saja maka dia tidak akan kehausan selamanya (Semua ini
disebutkan dalam hadits yang shahih riwayat imam Al Bukhari (no. 6208)
dan Muslim (no. 2292). Semoga Allah menjadikan kita semua termasuk
orang-orang yang dimudahkan minum darinya). Dalam hadits yang shahih
(Riwayat Imam Al Bukhari (no. 6211) dan Muslim (no. 2304) dari Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhu) juga disebutkan bahwa ada orang-orang yang
dihalangi dan diusir dari telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam ini. Karena mereka sewaktu di dunia berpaling dari petunjuk dan
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada pemahaman dan
perbuatan bid’ah, sehingga di akhirat mereka dihalangi dari kemuliaan
meminum air telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai
balasan yang sesuai dengan perbuatan mereka.
Imam
Ibnu Abdil Barr berkata: “Semua orang yang melakukan perbuatan bid’ah
yang tidak diridhai Allah dalam agama ini akan diusir dari telaga
Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam (pada hari kiamat nanti), dan
yang paling parah di antara mereka adalah orang-orang (ahlul bid’ah)
yang menyelisihi (pemahaman) jama’ah kaum muslimin, seperti orang-orang
khawarij, Syi’ah Rafidhah dan para pengikut hawa nafsu, demikian pula
orang-orang yang berbuat zhalim yang melampaui batas dalam kezhaliman
dan menentang kebenaran, serta orang-orang yang melakukan dosa-dosa
besar secara terang-terangan, semua mereka ini dikhawatirkan termasuk
orang-orang yang disebutkan dalam hadits ini (yang diusir dari telaga
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). (Kitab Syarh Az Zarqaani ‘Ala
Muwaththa-il Imaami Maalik, 1/65)
Beliau
(Ibnu Abdil Barr) adalah Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Barr
An Namari Al Andalusi (wafat 463 H), syaikhul Islam dan imam besar
ahlus Sunnah dari wilayah Magrib, penulis banyak kitab hadits dan fikih
yang sangat bermanfaat. Biografi beliau dalam kitab Tadzkiratul Huffaazh
(3/1128).
Demikian
pula termasuk peristiwa besar pada hari kiamat, melintasi ash shiraath
(jembatan) yang dibentangkan di atas permukaan neraka Jahannam, di
antara surga dan neraka. Dalam hadits yang shahih (Riwayat imam Al
Bukhari (no. 7001) dan Muslim (no. 183) dari Abu Sa’id Al Khudri
radhiyallahu ‘anhu) disebutkan bahwa keadaan orang yang melintasi
jembatan tersebut bermacam-macam sesuai dengan amal perbuatan mereka
sewaktu di dunia. “Ada yang melintasinya secepat kerdipan mata, ada yang
secepat kilat, ada yang secepat angin, ada yang secepat kuda pacuan
yang kencang, ada yang secepat menunggang onta, ada yang berlari, ada
yang berjalan, ada yang merangkak, dan ada yang disambar dengan pengait
besi kemudian dilemparkan ke dalam neraka Jahannam” – na’uudzu billahi
min daalik – (Ucapan syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab beliau Al
Aqiidah al Waasithiyyah, hal. 20) .
Syaikh
Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin ketika menjelaskan sebab perbedaan
keadaan orang-orang yang melintasi jembatan tersebut, beliau berkata:
“Ini semua (tentu saja) bukan dengan pilihan masing-masing orang, karena
kalau dengan pilihan (sendiri) tentu semua orang ingin melintasinya
dengan cepat, akan tetapi (keadaan manusia sewaktu) melintasi (jembatan
tersebut) adalah sesuai dengan cepat (atau lambatnya mereka) dalam
menerima (dan mengamalkan) syariat Islam di dunia ini; barangsiapa yang
bersegera dalam menerima (petunjuk dan sunnah) yang dibawa oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka diapun akan cepat
melintasi jembatan tersebut, dan (sebaliknya) barangsiapa yang lambat
dalam hal ini, maka diapun akan lambat melintasinya; sebagai balasan
yang setimpal, dan balasan (perbuatan manusia) adalah sesuai dengan
jenis perbuatannya.” (Kitab Syarhul Aqiidatil Waasithiyyah, 2/162)
وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
Balasan akhir yang baik (yaitu Surga) bagi orang-orang yang bertakwa
Akhirnya,
perjalanan manusia akan sampai pada tahapan akhir; surga yang penuh
kenikmatan, atau neraka yang penuh dengan siksaan yang pedih. Di sinilah
Allah ta’ala akan memberikan balasan yang sempurna bagi manusia sesuai
dengan amal perbuatan mereka di dunia. Allah ta’ala berfirman:
فَأَمَّا
مَنْ طَغَى وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ
الْمَأْوَى، وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ
الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
“Adapun
orang-orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan
dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Adapun
orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari
keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)”
(Qs. An Naazi’aat: 37-41).
Maka
balasan akhir yang baik hanyalah Allah peruntukkan bagi orang-orang
yang bertakwa dan membekali dirinya dengan ketaatan kepada-Nya, serta
menjauhi perbuatan yang menyimpang dari agama-Nya. Allah ta’ala
berfirman:
تِلْكَ
الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوّاً فِي
الْأَرْضِ وَلا فَسَاداً وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Negeri
akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin
menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, dan
kesudahan (yang baik) itu (surga) adalah bagi orang-orang yang
bertakwa.” (Qs. Al Qashash: 83)
Syaikh
Abdurrahman As Sa’di berkata: “…Jika mereka (orang-orang yang
disebutkan dalam ayat ini) tidak mempunyai keinginan untuk menyombongkan
diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, maka
konsekwensinya (berarti) keinginan mereka (hanya) tertuju kepada Allah,
tujuan mereka (hanya mempersiapkan bekal untuk) negeri akhirat, dan
keadan mereka (sewaktu di dunia): selalu merendahkan diri kepada
hamba-hamba Allah, serta selalu berpegang kepada kebenaran dan
mengerjakan amal shaleh, mereka itulah orang-orang bertakwa yang akan
mendapatkan balasan akhir yang baik (surga dari Allah ta’ala).”
(Taisiirul Kariimir Rahmaan fi Tafsiiri Kalaamil Mannaan, hal. 453)
Penutup
Setelah
kita merenungi tahapan-tahapan perjalanan besar ini, marilah kita
bertanya kepada diri kita sendiri: sudahkah kita mempersiapkan bekal
yang cukup supaya selamat dalam perjalanan tersebut? Kalau jawabannya:
belum, maka jangan putus asa, masih ada waktu untuk berbenah diri dan
memperbaiki segala kekurangan kita -dengan izin Allah ta’ala- . Caranya,
bersegeralah untuk kembali dan bertobat kepada Allah, serta
memperbanyak amal shaleh pada sisa umur kita yang masih ada. Dan semua
itu akan mudah bagi orang yang Allah berikan taufik dan kemudahan
baginya.
Imam
Fudhail bin ‘Iyaadh pernah menasehati seseorang lelaki, beliau berkata:
“Berapa tahun usiamu (sekarang)”? Lelaki itu menjawab: Enam puluh
tahun. Fudhail berkata: “(Berarti) sejak enam puluh tahun (yang lalu)
kamu menempuh perjalanan menuju Allah dan (mungkin saja) kamu hampir
sampai”. Lelaki itu menjawab: Sesungguhnya kita ini milik Allah dan akan
kembali kepada-Nya. Maka Fudhail berkata: “Apakah kamu paham arti
ucapanmu? Kamu berkata: Aku (hamba) milik Allah dan akan kembali
kepada-Nya, barangsiapa yang menyadari bahwa dia adalah hamba milik
Allah dan akan kembali kepada-Nya, maka hendaknya dia mengetahui bahwa
dia akan berdiri (di hadapan-Nya pada hari kiamat nanti), dan
barangsiapa yang mengetahui bahwa dia akan berdiri (di hadapan-Nya) maka
hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban
(atas perbuatannya selama di dunia), dan barangsiapa yang mengetahui
bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban (atas perbuatannya) maka
hendaknya dia mempersiapkan jawabannya.” Maka lelaki itu bertanya:
(Kalau demikian) bagaimana caranya (untuk menyelamatkan diri ketika
itu)? Fudhail menjawab: “(Caranya) mudah.” Leleki itu bertanya lagi: Apa
itu? Fudhail berkata: “Engkau memperbaiki (diri) pada sisa umurmu (yang
masih ada), maka Allah akan mengampuni (perbuatan dosamu) di masa lalu,
karena jika kamu (tetap) berbuat buruk pada sisa umurmu (yang masih
ada), kamu akan di siksa (pada hari kiamat) karena (perbuatan dosamu) di
masa lalu dan pada sisa umurmu.” (Dinukil oleh Imam Ibnu Rajab dalam
kitab Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam, hal. 464)
Beliau
(Fudhail bin ‘Iyaadh) adalah Fudhail bin ‘Iyaadh bin Mas’uud At Tamimi
(wafat 187 H), seorang imam besar dari dari kalangan atba’ut tabi’in
yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan seorang ahli ibadah (lihat kitab Taqriibut
Tahdziib, hal. 403)
Akhirnya,
kami menutup tulisan ini dengan doa dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam (dalam HR. Muslim, no. 2720) dari sahabat Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu) untuk kebaikan agama, dunia dan akhirat kita:
Ya
Allah, perbaikilah agamaku yang merupakan penentu (kebaikan) semua
urusanku, dan perbaikilah (urusan) duniaku yang merupakan tempat
hidupku, serta perbaikilah akhiratku yang merupakan tempat kembaliku
(selamanya), jadikanlah (masa) hidupku sebagai penambah kebaikan bagiku,
dan (jadikanlah) kematianku sebagai penghalang bagiku dari semua
keburukan.
Iman, Bertambah dan Berkurang
Sesungguhnya segala puji adalah bagi Allah. Kita memuji, meminta pertolongan, ampunan dan bertaubat kepada-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari keburukan hawa nafsu kita dan dari keburukan amal-amal kita. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Barang siapa yang disesatkan oleh-Nya maka tidak ada lagi yang bisa menunjukinya. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Aku pun bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, orang yang dikasihi dan dicintai-Nya, orang yang dipercaya oleh-Nya untuk menyampaikan wahyu dan syari’at-Nya kepada umat manusia. Semoga salawat dan keselamatan terlimpah kepada beliau dan juga kepada para pengikutnya, serta para sahabatnya semua, semoga keselamatan sebanyak-banyaknya selalu tercurah kepada mereka.
Amma ba’du.
Wahai hamba-hamba Allah,
Aku
wasiatkan kepada kalian dan juga kepada diriku untuk senantiasa
bertakwa kepada Allah. Karena barang siapa yang bertakwa kepada Allah
maka Allah akan menjaganya dan membimbingnya menuju kebaikan agama dan
dunianya. Kemudian, ketahuilah -semoga Allah merahmati kalian-
sesungguhnya perkara paling penting yang harus diperhatikan oleh setiap
hamba di dalam kehidupan ini adalah keimanan. Itulah perkara paling
utama yang digapai oleh jiwa dan dirasakan oleh hati. Dengan iman itulah
seorang hamba akan mendapatkan ketinggian derajat di dunia dan di
akhirat. Bahkan semua kebaikan di dunia dan di akhirat bergantung pada
iman yang benar. Maka iman itu merupakan cita-cita terbesar, tujuan yang
teragung, dan target yang paling utama. Dengan iman itulah -wahai
hamba-hamba Allah- seorang hamba akan merasakan kehidupan yang baik di
dua alam (dunia dan akhirat) dan akan terselamatkan dari bebagai perkara
yang dibenci, keburukan, dan perkara-perkara yang berat dan
menyusahkan. Dengan iman itulah akan diperoleh pemberian yang terindah
dan anugerah yang maha luas. Dengan iman itulah akan diraih pahala di
akhirat dan memasukkan diri ke dalam surga yang lebarnya sebagaimana
lebarnya langit dan bumi. Di dalamnya terdapat kenikmatan yang belum
pernah terlihat oleh mata, belum pernah terdengar oleh telinga, dan
belum pernah terbetik di dalam hati manusia. Dengan iman itulah -wahai
hamba-hamba Allah- seorang hamba akan selamat dari neraka yang siksanya
sangat keras dan jurangnya sangat dalam, panasnya sangat menyakitkan.
Dengan iman itulah seorang hamba akan bisa mendapatkan keberuntungan
menggapai keridaan Rabbnya Yang Maha Suci, sehingga Allah tidak akan
murka kepadanya selama-lamanya yang dengannya dia akan merasakan
kelezatan pada hari kiamat dengan memandang wajah-Nya yang mulia tanpa
ada kesempitan yang menyulitkan dan tanpa fitnah yang menyesatkan.
Dengan iman itulah hati merasa tenteram, jiwa menjadi tenang, dan hati
merasa ringan. Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman
dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah, ingatlah
sesungguhnya dengan mengingat Allah maka hati akan menjadi tenteram.”
(Qs. ar-Ra’d: 28). Betapa banyak manfaat agung dan pengaruh yang penuh
berkah, buah yang elok dan kebaikan yang senantiasa mengalir dari
keimanan, ketika di dunia maupun kelak di akhirat. Manfaatnya begitu
banyak sehingga tidak bisa kita hitung dan tidak bisa diliputi selain
Allah saja. Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah ada satu jiwa yang
mengetahui kenikmatan yang disembunyikan dari mereka berupa kesenangan
yang akan menyejukkan hati sebagai balasan atas apa yang dahulu mereka
kerjakan.” (Qs. as-Sajdah: 17)
Wahai hamba-hamba Allah
Sesungguhnya
iman merupakan sebuah pohon yang diberkahi, manfaatnya sangat besar dan
faidahnya sangat melimpah serta buahnya sangat lebat. Ia memiliki
tempat untuk ditanami dan mata air untuk mengairinya. Ia memilki pokok
dan cabang-cabang serta buah-buahan. Adapun tempat iman itu adalah di
dalam hati seorang mukmin, di dalamnya diletakkan benih-benihnya dan
tumbuh darinya pokok-pokoknya, dan darinya tumbuhlah cabang dan
rantingnya. Adapun mata air yang akan mengairinya adalah wahyu yang
terang yaitu Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Melalui mata air itulah pohon iman yang diberkahi ini akan
disirami. Tidak akan ada kehidupan dan pertumbuhan baginya kecuali
dengan air tersebut. Adapun pokoknya -wahai hamba-hamba Allah- adalah
pokok-pokok keimanan yang enam; iman kepada Allah, malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan iman kepada takdir yang
baik maupun yang buruk. Sedangkan pokok yang tertinggi dari pokok-pokok
ini adalah keimanan kepada Allah, maka itulah pokok yang paling
mendasar bagi pohon yang diberkahi ini. Adapun cabang-cabangnya adalah
amal-amal salih dan ketaatan yang beraneka ragam serta berbagai amal
yang mendekatkan diri kepada Allah yang dilakukan oleh seorang mukmin
berupa sholat, zakat, haji, puasa, berbuat baik, ihsan, dan lain
sebagainya. Sedangkan buah-buahannya adalah semua kebaikan dan
kebahagiaan yang diperoleh seorang mukmin ketika di dunia maupun di
akhirat, maka itu semua merupakan buah dari keimanan dan hasil darinya.
Allah berfirman (yang artinya), “Barang siapa yang melakukan amal salih
baik dari kalangan lelaki maupun perempuan sedangkan dia adalah orang
yang beriman, maka Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik
dan Kami akan membalas mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa
yang telah mereka lakukan.” (Qs. an-Nahl: 97)
Wahai hamba-hamba Allah
Manusia
itu bertingkat-tingkat dalam hal keimanan dengan perbedaan yang sangat
bervariasi tergantung dengan keberagaman mereka dalam mewujudkan
sifat-sifat ini, kuat maupun lemahnya, bertambah atau berkurangnya. Oleh
sebab itu sudah semestinya seorang hamba muslim yang ingin mendapatkan
kebaikan bagi dirinya untuk bersungguh-sungguh dalam memahami
sifat-sifat ini dan memperhatikannya kemudian menerapkannya di dalam
kehidupannya agar dia semakin bertambah iman dan menguat keyakinannya
dan kebaikan-kebaikannya semakin melimpah. Sebagaimana pula sudah
semestinya -wahai hamba-hamba Allah- agar menjaga dirinya dari
terjerumus dalam perkara-perkara yang mengurangi keimanan dan melemahkan
agama, hal itu supaya nantinya dia bisa terselamatkan dari akibat
buruknya dan kerugiannya yang menyakitkan.
Wahai hamba-hamba Allah
Ada
banyak sebab yang bisa meningkatkan keimanan dan mengokohkannya. Yang
terpenting di antaranya adalah dengan mempelajari ilmu yang bermanfaat,
membaca al-Qur’an dan merenungkan isinya, mengenal nama-nama Allah yang
terindah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi serta memperhatikan keelokan
agama Islam yang hanif ini serta mempelajari sejarah perjalanan hidup
Nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sejarah para
sahabatnya yang mulia. Dan dengan memperhatikan dan meneliti alam raya
yang luas ini dan berbagai penunjukan yang jelas di dalamnya serta
hujjah-hujjah yang gamblang dan bukti-bukti yang terang. “Wahai Rabb
kami, sama sekali Engkau tidak menciptakan ini semua dengan sia-sia,
Maha Suci Engkau, maka jagalah kami dari siksa neraka.” (Qs. Ali Imran).
Sebagaimana pula iman itu bertambah dengan kesungguhan dan usaha keras
dalam melakukan ketaatan kepada Allah serta menjaga
perintah-perintah-Nya dan memelihara waktu di dalam ketaatan kepada-Nya
serta melakukan hal-hal yang bisa mendekatkan diri kepada-Nya.
“Orang-orang yang bersungguh-sungguh di atas jalan Kami maka Kami akan
tunjukkan kepadanya jalan-jalan menuju keridaan Kami. Sesungguhnya Allah
bersama dengan orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. al-‘Ankabut: 69)
Wahai hamba-hamba Allah
Sesungguhnya
di sisi lain ada juga perkara-perkara lain yang dapat mengurangi dan
melemahkan keimanan. Wajib bagi setiap hamba yang beriman untuk
melindungi dirinya agar tidak terseret ke sana dan berusaha berhati-hati
untuk tidak terjerumus di dalamnya. Salah satu sebab utamanya adalah
karena kebodohan tentang agama Allah, kelalaian, berpaling dari
ketaatan, melakukan kemaksiatan-kemaksiatan, berkubang dosa, menuruti
keinginan nafsu yang mengajak kepada keburukan, bergaul dengan
orang-orang fasik dan gemar berbuat dosa, mengikuti hawa nafsu dan
syaitan, tertipu oleh kesenangan dunia dan terfitnah olehnya sehingga
hal itu membuat dunia itulah yang menjadi puncak angan-angan seorang
manusia dan tujuan hidupnya yang paling utama.
Wahai hamba-hamba Allah
Ketika
para pendahulu umat ini dan generasi pertamanya beserta orang-orang
pilihan di antara mereka menyadari keagungan iman ini dan merasakan
betapa besar kebutuhan mereka kepadanya lebih daripada kebutuhan kepada
makanan dan minuman serta udara untuk bernafas maka perhatian mereka
kepadanya juga sangat besar dan lebih didahulukan daripada semua urusan.
Dahulu mereka berusaha sekuat tenaga untuk memelihara iman mereka,
memeriksa amal-amal mereka, dan saling menasihati di antara mereka. Umar
bin al-Khatthab radhiyallahu’anhu mengatakan kepada para sahabatnya,
“Marilah, kita berkumpul sejenak untuk meningkatkan iman.” Abdullah bin
Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Duduklah bersama kami sejenak,
kita akan menambah keimanan.” Beliau juga sering mengatakan di dalam
doanya, “Ya Allah, tambahkanlah kepada kami iman, keyakinan, dan
kepahaman.” Abdullah bin Rawahah radhiyallahu’anhu memegang tangan
sekelompok orang dari para sahabatnya seraya mengatakan, “Marilah, kita
beriman barang sejenak. Marilah, kita mengingat Allah dan menambah
keimanan dengan ketaatan kepada-Nya semoga Allah mengingat kita dengan
ampunan-Nya.” Abud Darda’ radhiyallahu’anhu mengatakan, “Salah satu
bukti kepahaman seorang hamba adalah ketika dia mengetahui apakah dia
sedang menambah atau mengurangi.” Maksudnya adalah iman. “Dan bukti
kepahaman seseorang ialah tatkala dia mengetahui dari manakah datangnya
bujukan syaitan kepadanya.” Umair bin Habib al-Khazhami
radhiyallahu’anhu mengatakan, “Iman itu bertambah dan berkurang.” Maka
ada orang yang bertanya kepada beliau, “Apa yang dimaksud dengan
bertambah dan berkurangnya?” Beliau menjawab, “Apabila kita mengingat
Allah ‘azza wa jala dan memuji-Nya dan menyucikan-Nya maka itulah
pertambahannya. Dan apabila kita lalai, menyia-nyiakan dan lupa maka
itulah berkurangnya.” Nukilan-nukilan dari mereka tentang perkara ini
banyak sekali.
Wahai hamba-hamba Allah
Oleh
karena itulah, sesungguhnya seorang hamba beriman yang diberi taufik
akan senantiasa berusaha di dalam hidupnya untuk mewujudkan dua perkara
yang agung dan tujuan yang mulia. Pertama: memperkuat keimanan dan
cabang-cabangnya serta menggapainya dengan sungguh-sungguh dalam bentuk
ilmu maupun amalan. Dan yang kedua: berusaha sekuat tenaga untuk
menyingkirkan hal-hal yang dapat meniadakan atau membatalkan serta
menguranginya berupa fitnah-fitnah yang tampak maupun yang tersembunyi
dan berusaha untuk mengobati kekurangannya pada perkara yang pertama
(kekurangan dalam memperkuat iman) serta mengobati perkara yang telah
dilanggarnya dari perkara yang kedua (menepis pengikis keimanan) dengan
cara bertaubat dengan tulus dan murni, mengejar amal sebelum waktunya
lenyap, dan menghadapkan diri kepada Allah jalla wa ‘ala dengan
sepenuhnya dan hati yang jujur ingin kembali taat kepada-Nya, jiwa yang
merendah dan penuh ketenangan, patuh secara penuh kepada Allah,
mengharapkan rahmat Allah dan takut akan hukuman-Nya. Maka kita meminta
kepada Allah Yang Maha Mulia dengan nama-nama-Nya yang terindah dan
sifat-sifat-Nya yang maha tinggi semoga Allah menganugerahkan kepada
kita semua untuk bisa merealisasikan itu semua dan menyempurnakannya
sebagaimana yang diridai oleh-Nya bagi kita. Semoga Allah melimpahkan
kepada kita semua rezeki berupa keimanan yang jujur dan keyakinan yang
sempurna, taubat yang tulus. Dan semoga Allah mengampuni kita, kedua
orang tua kita, kaum muslimin lelaki dan perempuan, kaum mukminin lelaki
dan perempuan. Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah. Yang telah memberikan kebaikan
yang sangat besar dan keutamaan yang sangat luas, yang maha pemurah lagi
mencurahkan kenikmatan. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang
benar selain Allah semata tiada sekutu bagi-Nya. Aku pun bersaksi bahwa
Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya semoga salawat tercurah kepadanya
dan kepada pengikutnya, para sahabatnya semua, beserta keselamatan
sebanyak-banyaknya semoga terlimpah kepada mereka.
Amma ba’du.
Wahai
hamba-hamba Allah, aku wasiatkan kepada kalian dan diriku untuk tetap
bertakwa kepada Allah. Karena sesungguhnya ketakwaan kepada Allah jalla
wa ‘ala adalah asas keberhasilan dan alamat kebahagiaan di dunia dan di
akhirat. Ketakwaan kepada Allah jalla wa ‘ala yaitu dengan cara seorang
hamba melakukan amal ketaatan di atas cahaya dari Allah dan mengharapkan
pahala dari Allah serta dengan meninggalkan kemaksiatan ke[ada Allah di
atas cahaya dari Allah karena takut akan hukuman Allah. Wahai
hamba-hamba Allah, al-Hakim di dalam Mustadrak-nya dan at-Thabrani di
dalam Mu’jam Kabir-nya meriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash
radhiyallahu’anhuma, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sesungguhnya iman akan usang di rongga salah seorang
dari kalian sebagaimana halnya pakaian, maka mintalah kepada Allah agar
memperbaharui iman di dalam hati kalian.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menerangkan sifat iman itu bisa usang sebagaimana halnya pakaian,
maksudnya ia bisa menjadi usang dan lemah dan bisa dimasuki oleh
kekurangan akibat perbuatan apa saja yang dilakukan oleh manusia, yang
berupa kemaksiatan, dosa serta apa pun yang ditemui olehnya di dalam
kehidupan ini berupa hal-hal yang melalaikan yang beraneka ragam,
fitnah-fitnah yang besar, sehingga dapat menghilangkan kekuatan iman,
kehidupannya, dan kekokohannya, sehingga memperlemah keindahan,
keelokan, dan kemegahannya. Oleh sebab itulah maka Nabi ‘alaihis sholatu
was salam membimbing kita di dalam hadits yang agung ini agar selalu
menjaga dan memelihara keimanan dan amal agar kuat dan meminta kepada
Allah tabaraka wa ta’ala untuk menambahkan iman itu dan menetapkannya.
Allah jalla wa ‘ala berfirman (yang artinya), “Akan tetapi Allah lah
yang membuat kalian senang kepada iman dan memperindahnya di dalam hati
kalian, dan membuat kalian benci kepada kekafiran, kefasikan dan
kemaksiatan. Mereka itulah orang-orang yang lurus.” (Qs. al-Hujurat).
Maka termasuk kebaikan -wahai hamba-hamba Allah- termasuk kebaikan bagi
seorang hamba yang beriman untuk menasihati dirinya sendiri demi
kebaikan imannya yang itu merupakan harta paling berharga padanya dan
sesuatu yang paling mahal miliknya, itulah bekal terbaik untuk berjumpa
dengan Allah.
Orang
yang cerdik -wahai hamba-hamba Allah- adalah orang yang menundukkan
nafsunya dan beramal untuk menyambut apa yang akan terjadi setelah
kematian. Sedangkan orang yang tidak mampu itu adalah orang yang
membiarkan diri memperturutkan hawa nafsunya dan mengangankan berbagai
keinginan kepada Allah. Ucapkanlah salawat dan salam kepada Muhammad bin
Abdullah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah kepada kalian di
dalam Kitab-Nya, Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah dan
para malaikat-Nya mengucapkan salawat kepada Nabi, hai orang-orang yang
beriman ucapkanlah salawat kepadanya dan doakanlah keselamatan
untuknya.” (Qs. al-Ahzab). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda, “Barang siapa yang bersalawat kepadaku sekali maka Allah akan
mengucapkan salawat kepadanya sepuluh kali.” Terdapat pula perintah dan
dorongan dari beliau ‘alaihis sholatu was salam untuk memperbanyak
salawat dan doa keselamatan untuknya pada malam Jum’at dan di siang hari
Jum’at, maka perbanyaklah pada hari yang cerah dan diberkahi ini dengan
mengucapkan salawat dan doa keselamatan bagi Rasulullah. Ya Allah,
curahkanlah pujian kepada Muhammad dan kepada pengikut Muhammad
sebagaimana Engkau telah memuji Ibrahim dan pengikut Ibrahim,
sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Berkahilah Muhammad
dan pengikut Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkahi Ibrahim dan
pengikut Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Dan
ridailah ya Allah, para khulafa’ur rasyidin para iman yang berjalan di
atas petunjuk yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Dan ridailah ya
Allah, seluruh para sahabat dan para tabi’in serta orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat dan ridailah kami
bersama mereka dengan karunia-Mu dan kemurahan serta kebaikan dari-Mu
wahai Dzat Yang Termulia di antara sosok-sosok yang paling mulia. Ya
Allah, muliakanlah Islam dan kaum muslimin. Ya Allah, muliakanlah Islam
dan kaum muslimin. Ya Allah, muliakanlah Islam dan kaum muslimin. Ya
Allah, muliakanlah Islam dan kaum muslimin. Hinakanlah syirik dan kaum
musyrikin dan hancurkanlah musuh-musuh agama. Ya Allah, tolonglah
orang-orang yang menolong agama ini. Ya Allah belalah agama-Mu ini,
Kitab-Mu, dan Sunah nabi-Mu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ya
Allah tolonglah saudara-saudara kami kaum muslimin di semua tempat. Ya
Allah tolonglah mereka yang ada di Palestina dan di mana saja mereka
berada. Ya Allah, tolonglah mereka dengan sekuat-kuatnya. Ya Allah,
jagalah mereka dengan penjagaan dari-Mu dan kuatkanlah mereka dengan
kekuatan-Mu dan peliharalah mereka dengan bimbingan dari-Mu dan
perhatian-Mu wahai Yang Maha Hidup lagi Maha Berdiri sendiri. Ya Allah,
hukumlah Yahudi yang telah merampas negeri kaum muslimin, yang melanggar
batas, sesungguhnya mereka sama sekali tidak bisa melawan diri-Mu. Ya
Allah, porak-porandakanlah mereka dengan sehancur-hancurnya. Ya Allah,
buatlah hati mereka saling memusuhi dan rusakkanlah persatuan mereka,
dan jadikanlah untuk mereka kekalahan yang buruk wahai Yang Maha Hidup
lagi Maha Berdiri Sendiri, wahai Yang Maha Perkasa. Ya Allah, berikanlah
keamanan di negeri-negeri kami dan perbaikilah para pemimpin kami dan
orang-orang yang menguasai urusan-urusan kami dan berikanlah tampuk
pemerintah kami kepada orang-orang yang takut kepada-Mu dan bertakwa
kepada-Mu serta mengikuti keridaan-Mu wahai Rabb alam semesta. Ya Allah,
berikanlah taufik kepada pemegang urusan kami untuk melakukan apa yang
Engkau cintai dan ridai, dan bantulah dia untuk melakukan kebaikan dan
takwa dan luruskanlah dia di dalam ucapan-ucapan dan amal-amalnya, dan
anugerahkanlah kepadanya kesehatan dan keselamatan, berikanlah kepadanya
rezeki berupa pembantu-pembantu yang baik yang menunjukkannya kepada
kebaikan dan menolongnya untuk itu. Ya Allah, berikanlah taufik kepada
segenap para pemimpin kaum muslimin untuk melaksanakan isi Kitab-Mu dan
mengikuti Sunah Nabi-Mu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan
jadikanlah mereka lembut dan mengasihi hamba-hamba-Mu yang beriman. Ya
Allah, berikanlah ketakwaan kepada jiwa-jiwa kami. Sucikanlah ia,
sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik penyuci baginya. Engkau lah
penguasa dan penjaganya. Ya Allah, kami meminta kepada-Mu iman yang
jujur, keyakinan yang kokoh, taubat yang tulus. Ya Allah, sesungguhnya
kami meminta kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, kehormatan, dan kecukupan
diri. Ya Allah, perbaikilah bagi kami agama kami yang itu merupakan
penjaga bagi urusan kami. Perbaikilah dunia kami yang itu merupakan
tempat penghidupan kami. Perbaikilah bagi kami akhirat kami yang itu
merupakan tempat kembali kami dan jadikanlah kehidupan yang masih
tersisa sebagai tambahan bagi kami dalam semua kebaikan, dan jadikanlah
kematian sebagai perhentian bagi kami dari semua keburukan. Ya Allah,
sesungguhnya kami meminta kepada-Mu surga dan hal-hal yang dapat
mendekatkan diri ke sana berupa ucapan maupu perbuatan. Dan kami
berlindung kepada-Mu dari neraka dan apa saja yang menyeret ke sana
berupa ucapan maupun perbuatan. Ya Allah, damaikanlah perselisihan yang
ada di antara kami, satukanlah hati-hati kami, dan tunjukilah kami
jalan-jalan keselamatan dan keluarkanlah kami dari berbagai kegelapan
menuju cahaya. Berkahilah harta-harta kami, waktu-waktu kami,
istri-istri kami, anak-anak keturunan kami dan jadikanlah kami diberkahi
di mana saja kami berada. Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami semuanya,
yang kecil maupun yang besar, yang awal maupun yang akhir, yang
tersembunyi maupun yang tampak. Ya Allah, ampunilah kesalahan yang dulu
telah kami lakukan dan belum kami lakukan, yang kami sembunyikan maupun
yang kami tampakkan dan kesalahan-kesalahan lainnya yang engkau tentu
lebih mengetahui tentangnya daripada kami. Engkaulah Yang mendahulukan
dan engkaulah Yang mengakhirkan. Tidak ada sesembahan yang benar selain
Engkau. Ya Allah, ampunilah dosa orang-orang yang melakukan dosa dan
terimalah taubat orang yang bertaubat dan tetapkanlah kesehatan,
keselamatan, dan kebaikan bagi keseluruhan kaum muslimin. Ya Allah,
berikanlah jalan keluar bagi kesedihan orang yang dilanda duka di antara
kaum muslimin dan lepaskanlah kesulitan orang-orang yang tertimpa
kesulitan, dan tunaikanlah hutang orang-orang yang terlilit hutang, dan
sembuhkanlah orang-orang yang sakit di antara kami dan yang sakit di
antara kaum muslimin yang lain. Wahai Rabb kami, sesungguhnya kami telah
menganiaya diri kami sendiri maka apabila Engkau tidak mengampuni dan
menyayangi kami niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi. Wahai Rabb
kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat
dan jagalah kami dari siksa neraka.
Dzikir Ibadah yang Sangat Agung
Segala puji bagi Allah, Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa, Yang Maha Mulia lagi Maha Pengampun. Dzat yang menetapkan takdir dan mengatur segala urusan. Dzat yang mempergilirkan malam dan siang sebagai pelajaran bagi orang-orang yang memiliki hati dan pemahaman. Dzat yang menyadarkan sebagian makhluk dan memilihnya di antara orang pilihan-Nya dan kemudian Allah memasukkan dia ke dalam golongan orang-orang yang terbaik. Dzat yang memberikan taufik kepada orang yang Dia pilih di antara hamba-hamba-Nya kemudian Allah jadikan dia termasuk golongan al-Muqarrabin al-Abrar. Segala puji bagi-Nya yang telah memberikan pencerahan kepada orang yang dicintai-Nya sehingga membuat mereka untuk bersikap zuhud di alam kehidupan dunia ini, sehingga mereka bersungguh-sungguh untuk meraih ridha-Nya serta bersiap-siap untuk menyambut negeri yang kekal.
Oleh
sebab itu, mereka pun menjauhi perkara yang membuat-Nya murka dan
menjauhkan diri dari ancaman siksa neraka. Mereka menundukkan dirinya
dengan penuh kesungguhan dalam ketaatan kepada-Nya serta senantiasa
berdzikir kepada-Nya pada waktu petang maupun pagi. Dzikir itu
senantiasa mereka lakukan walaupun terjadi perubahan keadaan dan di
setiap kesempatan; malam maupun siang hari. Oleh sebab itu, bersinarlah
hati mereka dengan pancaran cahaya keimanan (lihat Mukadimah Al Adzkar,
dalam Shahih Al Adzkar, hal. 11)
Saudaraku -semoga Allah menyinari hati kita dengan keimanan-, dzikir merupakan ibadah yang sangat agung. Allah ta’ala berfirman,
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ
“Maka ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku juga akan mengingat kalian.” (QS. al-Baqarah: 152)
Orang-orang
yang hadir dalam majelis dzikir adalah orang-orang yang berbahagia.
Bagaimana tidak, sedangkan di dalam majelis itu dibacakan ayat-ayat
Allah ta’ala dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
itu merupakan sumber ketenangan hati dan kebahagiaan sejati.
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ
وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu hanyalah orang yang apabila disebutkan
nama Allah maka bergetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada
mereka ayat-ayat mereka maka bertambahlah keimanan mereka…” (QS.
al-Anfal: 2)
Di
saat peperangan berkecamuk, Allah pun tetap memerintahkan ibadah yang
mulia ini agar mereka menjadi orang-orang yang mendapatkan keberhasilan.
Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kalian bertemu dengan pasukan musuh
maka tegarlah kalian dan ingatlah kepada Allah dengan
sebanyak-banyaknya, mudah-mudahan kalian beruntung.” (QS. al-Anfal: 45)
Allah ta’ala juga berfirman,
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ingatlah, dengan mengingat Allah maka hati akan menjadi tenang.” (QS. ar-Ra’d: 28)
وَإِنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَلَى حَلْقَةٍ
مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ مَا أَجْلَسَكُمْ قَالُوا جَلَسْنَا نَذْكُرُ
اللَّهَ وَنَحْمَدُهُ عَلَى مَا هَدَانَا لِلْإِسْلَامِ وَمَنَّ بِهِ
عَلَيْنَا قَالَ آللَّهِ مَا أَجْلَسَكُمْ إِلَّا ذَاكَ قَالُوا وَاللَّهِ
مَا أَجْلَسَنَا إِلَّا ذَاكَ قَالَ أَمَا إِنِّي لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ
تُهْمَةً لَكُمْ وَلَكِنَّهُ أَتَانِي جِبْرِيلُ فَأَخْبَرَنِي أَنَّ
اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبَاهِي بِكُمْ الْمَلَائِكَةَ
Suatu
ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menjumpai
sebuah halaqah yang terdiri dari para sahabat beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Maka beliau bertanya, “Apa yang membuat kalian duduk di
sini?” Mereka menjawab, “Kami duduk untuk mengingat Allah ta’ala dan
memuji-Nya atas petunjuk yang Allah berikan kepada kami sehingga kami
bisa memeluk Islam dan nikmat-nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada
kami.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Demi Allah,
apakah tidak ada alasan lain bagi kalian sehingga membuat kalian duduk
di sini melaikan itu?” Mereka menjawab, “Demi Allah, tidak ada niat
kami selain itu.” Beliau pun bersabda, “Adapun aku, sesungguhnya aku
sama sekali tidak memiliki persangkaan buruk kepada kalian dengan
pertanyaanku. Akan tetapi, Jibril datang kepadaku kemudian dia
mengabarkan kepadaku bahwa Allah ‘azza wa jalla membanggakan kalian di
hadapan para malaikat.” (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا
يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمْ
الْمَلَائِكَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمْ
السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
“Tidaklah
ada suatu kaum yang duduk untuk berdzikir kepada Allah ta’ala melainkan
malaikat akan meliputi mereka dan rahmat akan menyelimuti mereka, dan
akan turun kepada mereka ketenangan, dan Allah akan menyebut-nyebut
mereka di hadapan para malaikat yang ada di sisi-Nya.” (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوْا قَالُوْا وَمَا رِيَاضُ الجَنَّةِ قَالَ حِلَقُ الذِّكْرِ
“Apabila
kalian melewati taman-taman surga maka singgahlah.” Maka para sahabat
bertanya, “Apa yang dimaksud taman-taman surga itu wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Halaqah-halaqah dzikir, karena sesungguhnya Allah
ta’ala memiliki malaikat yang berkeliling untuk mencari halaqah-halaqah
dzikir. Apabila mereka datang kepada orang-orang itu, maka mereka pun
meliputinya.” (HR. Abu Nu’aim dalam Al Hilyah dan dihasankan oleh Syaikh
Salim dalam Shahih Al Adzkar, hal. 16)
An
Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya keutamaan
dzikir itu tidak terbatas kepada tasbih, tahlil, tahmid, takbir dan
semacamnya. Akan tetapi, setiap orang yang beramal ikhlas karena Allah
ta’ala dengan melakukan ketaatan maka dia adalah orang yang berdzikir
kepada Allah ta’ala. Demikianlah, yang dikatakan oleh Sa’id bin Jubair
radhiyallahu’anhu dan para ulama yang lain. Atha’ rahimahullah
mengatakan, ‘Majelis dzikir adalah majelis halal dan haram, yang
membicarakan bagaimana menjual dan membeli, bagaimana shalat, menikah,
thalaq, haji, … dan sebagainya.'” (Shahih Al Adzkar, hal. 18)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Sebagian dari kalangan
ahli hikmah yang terdahulu dari Syam -dugaan saya adalah Sulaiman Al
Khawwash rahimahullah mengatakan, ‘Dzikir bagi hati laksana makanan bagi
tubuh. Maka sebagaimana tubuh tidak akan merasakan kelezatan makanan
ketika menderita sakit. Demikian pula hati tidak akan dapat merasakan
kemanisan dzikir apabila hatinya masih jatuh cinta kepada dunia’.
Apabila hati seseorang telah disibukkan dengan mengingat Allah,
senantiasa memikirkan kebenaran, dan merenungkan ilmu, maka dia telah
diposisikan sebagaimana mestinya…” (Majmu’ Fatawa, 2/344)
Oleh sebab itu, menjadi orang yang banyak mengingat Allah merupakan cita-cita setiap mukmin. Allah ta’ala berfirman,
وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Dan
kaum lelaki yang banyak mengingat Allah demikian pula kaum perempuan,
maka Allah persiapkan untuk mereka ampunan dan pahala yang sangat
besar.” (QS. Al Ahzab: 35)
Mujahid
rahimahullah mengatakan, “Tidaklah tergolong lelaki dan perempuan yang
banyak mengingat Allah kecuali apabila dia membiasakan diri senantiasa
mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring.” (Shahih
al-Adzkar, hal. 19)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
أَيْقَظَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّيَا أَوْ صَلَّى
رَكْعَتَيْنِ جَمِيعًا كُتِبَا فِي الذَّاكِرِينَ وَالذَّاكِرَاتِ
“Apabila
seorang suami membangunkan isterinya, kemudian mereka berdua shalat
bersama sebanyak dua raka’at, maka mereka berdua akan dicatat termasuk
dalam golongan lelaki dan perempuan yang banyak mengingat Allah.” (HR.
Abu Dawud, An Nasa’i dalam Sunan Al Kubra, dan Ibnu Majah, disahihkan
oleh Syaikh Salim dalam Shahih Al Adzkar, hal. 19)
عَنْ
مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَخَذَ بِيَدِهِ وَقَالَ يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّي
لَأُحِبُّكَ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ فَقَالَ أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ
لَا تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى
ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
Mu’adz
bin Jabal -radhiyallahu’anhu- menceritakan bahwa suatu ketika
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang tangannya seraya
mengucapkan, “Hai Mu’adz, demi Allah sesungguhnya aku benar-benar
mencintaimu. Demi Allah, aku benar-benar mencintaimu.” Lalu beliau
bersabda, “Aku wasiatkan kepadamu hai Mu’adz, jangan kamu tinggalkan
bacaan setiap kali di akhir shalat hendaknya kamu berdoa, ‘Allahumma
a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik’ (Ya Allah, bantulah
aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik
kepada-Mu).” (HR. Abu Dawud, disahihkan Al Albani dalam Shahih wa Dha’if
Sunan Abi Dawud no. 1522)
Itulah
sebagian keutamaan dzikir yang bisa kami kemukakan di sini, semoga
Allah memberikan kepada kita taufik untuk berdzikir kepada-Nya,
bersyukur kepada-Nya, dan beribadah dengan baik kepada-Nya. Wa
shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahibihi wa
sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Hamba yang fakir kepada ampunan Rabbnya
Semoga Allah mengampuninya
Zuhud
Kata zuhud sering disebut-sebut ketika kita mendengar nasehat dan seruan agar mengekang ketamakan terhadap dunia dan mengejar kenikmatannya yang fana dan pasti sirna, dan agar jangan melupakan kehidupan akhirat yang hakiki setelah kematian. Hal ini sebagaimana peringatan Allah tentang kehidupan dunia yang penuh dengan fatamorgana dan berbagai keindahan yang melalaikan dari hakikat kehidupan yang sebenarnya.
Allah berfirman,
“Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu
yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta
berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang
tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi
kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di
akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta
keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan
yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20)
Ayat
ini menunjukkan bahwa kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang menipu,
batil, dan sekadar permainan. Yang dimaksud sekadar permainan adalah
sesuatu yang tiada bermanfaat dan melalaikan. Ayat ini juga menunjukkan
bahwa dunia adalah perhiasan, dan orang-orang yang terfitnah dengan
dunia menjadikannya sebagai perhiasannya dan tempat untuk saling
bermegah-megahan dengan kenikmatan yang ada padanya berupa anak-anak,
harta-benda, kedudukan dan yang lainnya sehingga lalai dan tidak beramal
untuk akhiratnya.
Allah
menyerupakan kehancuran dunia dan kefanaannya yang begitu cepat dengan
hujan yang turun ke permukaan bumi. Ia menumbuhkan tanaman yang
menghijau lalu kemudian berubah menjadi layu, kering dan pada akhirnya
mati. Demikianlah kenikmatan dunia, yang pasti pada saatnya akan punah
dan binasa. Maka barangsiapa mengambil pelajaran dari permisalan yang
disebutkan di atas, akan mengetahui bahwa dunia ibarat es yang semakin
lama semakin mencair dan pada akhirnya akan hilang dan sirna. Sedangkan
segala apa yang ada di sisi Allah adalah lebih kekal, dan akhirat itu
lebih baik dan utama sebagaimana lebih indah dan kekalnya permata
dibandingkan dengan es. Apabila seseorang mengetahui dengan yakin akan
perbedaan antara dunia dan akhirat dan dapat membandingkan keduanya,
maka akan timbul tekad yang kuat untuk menggapai kebahagian dunia
akhirat.
Definisi Zuhud
Banyak
sekali penjelasan ulama tentang makna zuhud. Umumnya mengarah kepada
makna yang hampir sama. Di sini akan disampaikan sebagian dari pendapat
tersebut.
Makna secara bahasa:
Zuhud
menurut bahasa berarti berpaling dari sesuatu karena hinanya sesuatu
tersebut dan karena (seseorang) tidak memerlukannya. Dalam bahasa Arab
terdapat ungkapan “syaiun zahidun” yang berarti “sesuatu yang rendah dan
hina”.
Makna secara istilah:
Ibnu
Taimiyah mengatakan – sebagaimana dinukil oleh muridnya, Ibnu al-Qayyim
– bahwa zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat demi
kehidupan akhirat.
Al-Hasan
Al-Bashri menyatakan bahwa zuhud itu bukanlah mengharamkan yang halal
atau menyia-nyiakan harta, akan tetapi zuhud di dunia adalah engkau
lebih mempercayai apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di
tanganmu. Keadaanmu antara ketika tertimpa musibah dan tidak adalah sama
saja, sebagaimana sama saja di matamu antara orang yang memujimu dengan
yang mencelamu dalam kebenaran.
Di sini zuhud ditafsirkan dengan tiga perkara yang semuanya berkaitan dengan perbuatan hati:
Bagi
seorang hamba yang zuhud, apa yang ada di sisi Allah lebih dia percayai
daripada apa yang ada di tangannya sendiri. Hal ini timbul dari
keyakinannya yang kuat dan lurus terhadap kekuasaan Allah. Abu Hazim
az-Zahid pernah ditanya, “Berupa apakah hartamu?” Beliau menjawab, “Dua
macam. Aku tidak pernah takut miskin karena percaya kepada Allah, dan
tidak pernah mengharapkan apa yang ada di tangan manusia.” Kemudian
beliau ditanya lagi, “Engkau tidak takut miskin?” Beliau menjawab,
“(Mengapa) aku harus takut miskin, sedangkan Rabb-ku adalah pemilik
langit, bumi serta apa yang berada di antara keduanya.”
Apabila
terkena musibah, baik itu kehilangan harta, kematian anak atau yang
lainnya, dia lebih mengharapkan pahala karenanya daripada mengharapkan
kembalinya harta atau anaknya tersebut. Hal ini juga timbul karena
keyakinannya yang sempurna kepada Allah.
Baginya
orang yang memuji atau yang mencelanya ketika ia berada di atas
kebenaran adalah sama saja. Karena kalau seseorang menganggap dunia itu
besar, maka dia akan lebih memilih pujian daripada celaan. Hal itu akan
mendorongnya untuk meninggalkan kebenaran karena khawatir dicela atau
dijauhi (oleh manusia), atau bisa jadi dia melakukan kebatilan karena
mengharapkan pujian. Jadi, apabila seorang hamba telah menganggap sama
kedudukan antara orang yang memuji atau yang mencelanya, berarti
menunjukkan bahwa kedudukan makhluk di hatinya adalah rendah, dan
hatinya dipenuhi dengan rasa cinta kepada kebenaran.
Hakekat
zuhud itu berada di dalam hati, yaitu dengan keluarnya rasa cinta dan
ketamakan terhadap dunia dari hati seorang hamba. Ia jadikan dunia
(hanya) di tangannya, sementara hatinya dipenuhi rasa cinta kepada Allah
dan akhirat.
Zuhud
bukan berarti meninggalkan dunia secara total dan menjauhinya. Lihatlah
Nabi, teladan bagi orang-orang yang zuhud, beliau mempunyai sembilan
istri. Demikian juga Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman, sebagai seorang
penguasa mempunyai kekuasaan yang luas sebagaimana yang disebutkan oleh
Allah dalam Al-Qur’an. Para Shahabat, juga mempunyai istri-istri dan
harta kekayaan, yang di antara mereka ada yang kaya raya. Semuanya ini
tidaklah mengeluarkan mereka dari hakekat zuhud yang sebenarnya.
Tingkatan Zuhud
Ada beberapa tingkatan zuhud sesuai dengan keadaan setiap orang yang melakukannya, yaitu:
Berusaha
untuk hidup zuhud di dunia; sementara ia menghendaki (dunia tersebut),
hati condong kepadanya dan selalu menoleh ke arahnya, akan tetapi ia
berusaha melawan dan mencegahnya.
Orang
yang meninggalkan dunia dengan suka rela, karena di matanya dunia itu
rendah dan hina, meskipun ada kecenderungan kepadanya. Dan ia
meninggalkan dunia tersebut (untuk akhirat), bagaikan orang yang
meninggalkan uang satu dirham untuk mendapatkan uang dua dirham
(maksudnya balasan akhirat itu lebih besar daripada balasan dunia).
Orang
yang zuhud dan meninggalkan dunia dengan hati yang lapang. Ia tidak
melihat bahwa dirinya meninggalkan sesuatu apapun. Orang seperti ini
bagaikan seseorang yang hendak masuk ke istana raja, terhalangi oleh
anjing yang menjaga pintu, lalu ia melemparkan sepotong roti ke arah
anjing tersebut sehingga membuat anjing tersebut sibuk (dengan roti
tadi), dan ia pun dapat masuk (ke istana) untuk menemui sang Raja dan
mendapatkan kedekatan darinya. Anjing di sini diumpamakan sebagai
syaitan yang berdiri di depan pintu (kerajaan/surga) Allah, yang
menghalangi manusia untuk masuk ke dalamnya, sementara pintu tersebut
dalam keadaan terbuka. Adapun roti diumpamakan sebagai dunia, maka
barangsiapa meninggalkannya niscaya akan memperoleh kedekatan dari
Allah.
Hal-Hal yang Mendorong untuk Hidup Zuhud
1.
Keimanan yang kuat dan selalu ingat bagaimana ia berdiri di hadapan
Allah pada hari kiamat guna mempertanggung-jawabkan segala amalnya, yang
besar maupun yang kecil, yang tampak ataupun yang tersembunyi. Ingat!
betapa dahsyatnya peristiwa datangnya hari kiamat kelak. Hal itu akan
membuat kecintaannya terhadap dunia dan kelezatannya menjadi hilang
dalam hatinya, kemudian meninggalkannya dan merasa cukup dengan hidup
sederhana.
2.
Merasakan bahwa dunia itu membuat hati terganggu dalam berhubungan
dengan Allah, dan membuat seseorang merasa jauh dari kedudukan yang
tinggi di akhirat kelak, dimana dia akan ditanya tentang kenikmatan
dunia yang telah ia peroleh, sebagaimana firman Allah,
“Kemudian
kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu
megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At-Takaatsur: 6)
Perasaan seperti ini akan mendorong seorang hamba untuk hidup zuhud.
3.
Dunia hanya akan didapatkan dengan susah payah dan kerja keras,
mengorbankan tenaga dan pikiran yang sangat banyak, dan kadang-kadang
terpaksa harus bergaul dengan orang-orang yang berperangai jahat dan
buruk. Berbeda halnya jika menyibukkan diri dengan berbagai macam
ibadah; jiwa menjadi tentram dan hati merasa sejuk, menerima takdir
Allah dengan tulus dan sabar, ditambah akan menerima balasan di akhirat.
Dua hal di atas jelas berbeda dan (setiap orang) tentu akan memilih
yang lebih baik dan kekal.
4.
Merenungkan ayat-ayat Al-Qur’an yang banyak menyebutkan tentang
kehinaan dan kerendahan dunia serta kenikmatannya yang menipu (manusia).
Dunia hanyalah tipu daya, permainaan dan kesia-siaan belaka. Allah
mencela orang-orang yang mengutamakan kehidupan dunia yang fana ini
daripada kehidupan akhirat, sebagaimana dalam firman-Nya,
“Adapun
orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia,
maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Naaziat:
37-39)
Dalam ayat yang lainnya Allah berfirman,
“Tetapi
kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan
akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’laa: 16-17)
Semua
dalil-dalil, baik dari Al-Qur’an maupun as-Sunnah, mendorong seorang
yang beriman untuk tidak terlalu bergantung kepada dunia dan lebih
mengharapkan akhirat yang lebih baik dan lebih kekal.
Zuhud yang Bermanfaat dan Sesuai Dengan Syariat
Zuhud
yang disyariatkan dan bermanfaat bagi orang yang menjalaninya adalah
zuhud yang dicintai oleh Allah dan rasul-Nya, yaitu meninggalkan segala
sesuatu yang tidak bermanfaat demi menggapai kehidupan akhirat. Adapun
sesuatu yang memberi manfaat bagi kehidupan akhirat dan membantu untuk
menggapainya, maka termasuk salah satu jenis ibadah dan ketaatan.
Sehingga berpaling dari sesuatu yang bermanfaat merupakan kejahilan dan
kesesatan sebagaimana sabda Nabi,
“Carilah apa yang bermanfaat bagi dirimu dan mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah.” (HR. Muslim hadits no. 4816)
Yang
bermanfaat bagi seorang hamba adalah beribadah kepada Allah,
menjalankan ketaatan kepada-Nya dan kepada rasul-Nya. Dan semua yang
menghalangi hal ini adalah perkara yang mendatangkan kemudharatan dan
tidak bermanfaat. Yang paling berguna bagi seorang hamba adalah
mengikhlaskan seluruh amalnya karena Allah. Orang yang tidak
memperhatikan segala yang dicintai dan dibenci oleh Allah dan rasul-Nya
akan banyak menyia-nyiakan kewajiban dan jatuh ke dalam perkara yang
diharamkan; meninggalkan sesuatu yang merupakan kebutuhannya seperti
makan dan minum; memakan sesuatu yang dapat merusak akalnya sehingga
tidak mampu menjalankan kewajiban; meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar;
meningalkan jihad di jalan Allah karena dianggap mengganggu dan
merugikan orang lain. Pada akhirnya, orang-orang kafir dan orang-orang
jahat mampu menguasai negeri mereka dikarenakan meninggalkan jihad dan
amar ma’ruf -tanpa ada maslahat yang nyata-.
Allah berfirman,
“Mereka
bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah,
‘Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi
(manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk)
Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar
(dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya)
daripada membunuh.'” (QS. Al-Baqarah: 217)
Allah
menjelaskan dalam ayat ini, walaupun membunuh jiwa itu merupakan
keburukan, akan tetapi fitnah yang ditimbulkan oleh kekufuran, kezaliman
dan berkuasanya mereka (orang-orang kafir) lebih berbahaya dari
membunuh jiwa. Sehingga menghindari keburukan yang lebih besar dengan
melakukan keburukan yang lebih ringan adalah lebih diutamakan. Seumpama
orang yang tidak mau menyembelih hewan dengan dalih bahwa perbuatan
tersebut termasuk aniaya terhadap hewan. Orang seperti ini adalah jahil,
karena hewan tersebut pasti akan mati. Disembelihnya hewan tersebut
untuk kepentingan manusia adalah lebih baik daripada mati tanpa
mendatangkan manfaat bagi seorang pun. Manusia lebih sempurna dari
hewan, dan suatu kebaikan tidak mungkin bisa sempurna untuk manusia
kecuali dengan memanfaatkannya, baik untuk dimakan, dijadikan sebagai
kendaraan atau yang lainya. Yang dilarang oleh Nabi adalah menyiksanya
dan tidak menunaikan hak-haknya yang telah tetapkan oleh Allah.
Nabi bersabda,
“Sesungguhnya
Allah telah mewajibkan berbuat baik atas segala sesuatu, maka jikalau
kalian membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kalian menyembelih maka
sembelihlah dengan baik, hendaklah salah seorang diantara kalian
menajamkan pisaunya dan menyenangkan sembelihannya.” (HR. Muslim hadits
no. 3615)
Zuhud yang Bid’ah dan Menyelisihi Syari’at
Zuhud
yang menyelisihi Sunnah tidak ada kebaikan sama sekali di dalamnya.
Karena ia menganiaya hati dan membutakannya, membuat agama menjadi buruk
dan hilang nilai-nilai kebaikannya yang diridhai oleh Allah bagi
hamba-hamba-Nya, menjauhkan manusia dari agama Allah, menghancurkan
peradaban, dan memberi kesempatan bagi musuh-musuh Islam untuk menguasai
mereka; merendahkan kemuliaan seseorang serta menjadikan seorang hamba
menyembah kepada selain Allah. Berikut ini beberapa perkataan para
penyeru zuhud yang menyelisihi petunjuk Nabi.
Perkataan
Junaid, salah seorang penyeru zuhud yang menyelisihi syariat, “Saya
senang kalau seorang pemula dalam kezuhudan tidak menyibukkan diri
dengan tiga perkara agar tidak berubah keadaannya, yaitu bekerja untuk
mendapatkan rezeki, menuntut ilmu hadist, dan menikah. Dan lebih aku
senangi jika seorang sufi tidak membaca dan menulis agar niatnya lebih
terarah.” (Kitab Quatul-Qulub 3/135, kitab karya Junaid).
Perkataan
Abu Sulaiman ad-Darani, “Jika seseorang telah menuntut ilmu, pergi
mencari rezeki atau menikah, maka dia telah bersandar kepada dunia.”
(Kitab Al-Futuhat Al-Makiyah, 1/37).
Padahal
telah dimaklumi bahwa semua peradaban di dunia ini tidak mungkin tegak
dan berkembang kecuali dengan tiga perkara, yaitu dengan bekerja,
mencari ilmu, dan menikah demi meneruskan keturunan manusia. Rasulullah
sendiri telah memerintahkan kita bekerja mencari rezeki sebagaimana
dalam sabda beliau,
“Tidaklah
seseorang memakan makanan yang lebih baik daripada hasil kerja
tangannya sendiri. Sesungguhnya nabi Allah, Dawud, makan dari hasil
kerja tangannya.” (HR. Bukhari, III/8 hadits no. 1930)
Dan Rasulullah telah memerintahkan umatnya untuk menikah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai
para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah mempunyai
kemampuan (lahir dan batin) untuk menikah, maka hendaklah dia menikah.
Sesungguhnya pernikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan menjaga
kehormatan. Sedangkan untuk yang tidak mampu, hendaklah berpuasa karena
puasa itu dapat menjaganya (yaitu benteng nafsu).” (HR. Bukhari, VI/117)
Beliau juga memerintahkan kaum muslimin menuntut ilmu, baik ilmu agama maupun dunia, sebagaimana sabdanya,
“Menuntut
ilmu adalah kewajiban setiap muslim.” (Ibnu Majah hadits no. 220.
Hadist Sahih, lihat Kitab Al-Jami’ As-Shahih no. 3808 karya Al-Bani)
Wajib
di sini adalah dalam menuntut ilmu agama. Adapun ilmu duniawi, tidak
ada seorang pun yang berselisih tentang pentingnya ilmu tersebut, baik
berupa ilmu kesehatan, ilmu perencanaan maupun ilmu lainnya yang manusia
tidak mungkin terlepas darinya. Terpuruknya kaum muslimin ke dalam
jurang kehinaan dan kemunduran pada masa sekarang ini tidak lain akibat
kelalaian mereka dalam menuntut ilmu agama yang benar, merasa cukup
dengan ilmu duniawi yang mereka ambil dari musuh-musuh mereka dalam
berbagai macam aspek kehidupan, baik yang besar maupun yang kecil,
banyak maupun sedikit, yang semuanya berujung kepada kebinasaan,
hilangnya agama, akhlak, dan hal-hal utama lainnya.
Khatimah
Sebagai
penutup tulisan ini, marilah kita lihat bagaimana kehidupan generasi
pertama dan terbaik dari umat ini, generasi sahabat yang hidup di bawah
naungan wahyu Ilahi dan didikan Nabi. Salah seorang tokoh generasi
tabi’in, Imam al-Hasan al-Bashri berkata, “Aku telah menjumpai suatu
kaum dan berteman dengan mereka. Tidaklah mereka itu merasa gembira
karena sesuatu yang mereka dapatkan dari perkara dunia, juga tidak
bersedih dengan hilangnya sesuatu itu. Dunia di mata mereka lebih hina
daripada tanah. Salah seorang di antara mereka hidup satu atau dua tahun
dengan baju yang tidak pernah terlipat, tidak pernah meletakkan panci
di atas perapian, tidak pernah meletakkan sesuatu antara badan mereka
dengan tanah (beralas) dan tidak pernah memerintahkan orang lain
membuatkan makanan untuk mereka. Bila malam tiba, mereka berdiri di atas
kaki mereka, meletakkan wajah-wajah mereka dalam sujud dengan air mata
bercucuran di pipi-pipi mereka dan bermunajat kepada Allah agar
melepaskan diri mereka dari perbudakan dunia. Ketika beramal kebaikan,
mereka bersungguh-sungguh dengan memohon kepada Allah untuk menerimanya.
Apabila berbuat keburukan, mereka bersedih dan bersegera meminta
ampunan kepada Allah. Mereka senantiasa dalam keadaan demikian. Demi
Allah, tidaklah mereka itu selamat dari dosa kecuali dengan ampunan
Allah. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepada mereka.”
Wallahu A’lam.
Subscribe to:
Posts (Atom)