Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Harta tidak akan berkurang gara-gara sedekah. Tidaklah seorang hamba memberikan maaf -terhadap kesalahan orang lain- melainkan Allah pasti akan menambahkan kemuliaan pada dirinya. Dan tidaklah seorang pun yang bersikap rendah hati (tawadhu’) karena Allah (ikhlas) melainkan pasti akan diangkat derajatnya oleh Allah.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [8/194])
Hadits yang mulia ini memberikan berbagai pelajaran penting bagi kita, di antaranya:
Hadits
ini menganjurkan kita untuk bersikap ihsan/suka berbuat baik kepada
orang lain, entah dengan harta, dengan memaafkan kesalahan mereka,
ataupun dengan bersikap tawadhu’ kepada mereka (lihat Bahjat al-Qulub
al-Abrar, hal. 110)
Anjuran
untuk banyak bersedekah. Karena dengan sedekah itu akan membuat
hartanya berbarokah dan terhindar dari bahaya. Terlebih lagi dengan
bersedekah akan didapatkan balasan pahala yang berlipat ganda (lihat
Syarh Muslim [8/194]). Selain itu, sedekah juga menjadi sebab terbukanya
pintu-pintu rezeki (lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 109)
Anjuran untuk menjauhi sifat bakhil/kikir.
Kebakhilan tidak akan menghasilkan keberuntungan
Hadits ini menunjukkan keutamaan bersedekah dengan harta
Sedekah adalah ibadah
Allah mencintai orang yang suka bersedekah -dengan ikhlas tentunya-
Terkadang
manusia menyangka bahwa sesuatu bermanfaat baginya, namun apabila
dicermati dari sudut pandang syari’at maka hal itu justru tidak
bermanfaat. Demikian pula sebaliknya. Oleh sebab itu alangkah tidak
bijak orang yang menjadikan hawa nafsu, perasaan, ataupun akal
pikirannya yang terbatas sebagai standar baik tidaknya sesuatu. Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata, “Manusia itu, sebagaimana telah dijelaskan
sifatnya oleh Yang menciptakannya. Pada dasarnya ia suka berlaku zalim
dan bersifat bodoh. Oleh sebab itu, tidak sepantasnya dia menjadikan
kecenderungan dirinya, rasa suka, tidak suka, ataupun kebenciannya
terhadap sesuatu sebagai standar untuk menilai perkara yang berbahaya
atau bermanfaat baginya. Akan tetapi sesungguhnya standar yang benar
adalah apa yang Allah pilihkan baginya, yang hal itu tercermin dalam
perintah dan larangan-Nya…” (al-Fawa’id, hal. 89)
Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya menepis keragu-raguan dan menyingkap kesalahpahaman yang bercokol di dalam hati manusia
Memberikan targhib/motivasi merupakan salah satu metode pengajaran yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Hadits ini juga menunjukkan pentingnya memotivasi orang lain untuk beramal salih
Anjuran
untuk memberikan maaf kepada orang lain yang bersalah kepada kita
-secara pribadi-. Dengan demikian -ketika di dunia- maka kedudukannya
akan bertambah mulia dan terhormat. Di akherat pun, kedudukannya akan
bertambah mulia dan pahalanya bertambah besar jika orang tersebut
memiliki sifat pemaaf (lihat Syarh Muslim [8/194]).
Di
antara hikmah memaafkan kesalahan orang adalah akan bisa merubah musuh
menjadi teman -sehingga hal ini bisa menjadi salah satu cara untuk
membuka jalan dakwah-, atau bahkan bisa menyebabkan orang lain mudah
memberikan bantuan dan pembelaan di saat dia membutuhkannya (lihat
Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 109)
Allah mencintai orang yang pemaaf.
Anjuran
untuk bersikap tawadhu’/rendah hati. Karena dengan kerendahan hati
itulah seorang hamba akan bisa memperoleh ketinggian derajat dan
kemuliaan, ketika di dunia maupun di akherat kelak (lihat Syarh Muslim
[8/194]).
Hakekat
orang yang tawadhu’ adalah orang yang tunduk kepada kebenaran, patuh
kepada perintah dan larangan Allah dan rasul-Nya serta bersikap rendah
hati kepada sesama manusia, baik kepada yang masih muda ataupun yang
sudah tua. Lawan dari tawadhu’ adalah takabur/sombong (lihat Bahjat
al-Qulub al-Abrar, hal. 110)
Allah mencintai orang yang tawadhu’
Larangan bersikap takabur; yaitu menolak kebenaran dan meremehkan orang lain
Tawadhu’
yang terpuji adalah yang dilandasi dengan keikhlasan, bukan yang
dibuat-buat; yaitu yang timbul karena ada kepentingan dunia yang
bersembunyi di baliknya (lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 110)
Yang
menjadi penyempurna dan ruh/inti dari ihsan/kebajikan adalah niat yang
ikhlas dalam beramal karena Allah (lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal.
110)
Ketawadhu’an
merupakan salah satu sebab diangkatnya derajat seseorang di sisi Allah.
Di samping ada sebab lainnya seperti; keimanan -dan itu yang paling
pokok- serta ilmu yang dimilikinya. Bahkan, ketawadhu’an itu sendiri
merupakan buah agung dari iman dan ilmu yang tertanam dalam diri seorang
hamba (lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 110)
Hadits
ini menunjukkan bahwa manusia diperintahkan untuk mencari ketinggian
dan kemuliaan derajat di sisi-Nya. Sedangkan orang yang paling mulia di
sisi-Nya adalah yang paling bertakwa (lihat QS. al-Hujurat: 13). Dan
salah satu kunci ketakwaan adalah kemampuan untuk mengekang hawa nafsu,
sehingga orang tidak akan bakhil dengan hartanya, akan mudah memaafkan,
dan tidak bersikap arogan ataupun bersikap sombong di hadapan manusia.
Hadits ini menunjukkan keutamaan mengekang hawa nafsu dan keharusan untuk menundukkannya kepada syari’at Rabbul ‘alamin
Hendaknya
menjauhi sebab-sebab yang menyeret kepada sifat-sifat tercela
-misalnya; kikir dan sombong- dan berusaha untuk mengikisnya jika
seseorang mendapati sifat itu ada di dalam dirinya
Kemuliaan derajat yang hakiki adalah di sisi Allah (diukur dengan syari’at), tidak diukur dengan pandangan kebanyakan manusia
Bisa
jadi orang itu tidak dikenal atau rendah dalam pandangan manusia
-secara umum-, akan tetapi di sisi Allah dia adalah sosok yang sangat
mulia dan dicintai-Nya. Tidakkah kita ingat kisah Uwais al-Qarani
seorang tabi’in terbaik namun tidak dikenal orang, diremehkan, dan tidak
menyukai popularitas?
Pujian
dan sanjungan orang lain kepada kita bukanlah standar apalagi jaminan.
Sebab ketinggian derajat yang hakiki adalah di sisi-Nya. Oleh sebab itu,
tatkala dikabarkan kepada Imam Ahmad oleh muridnya mengenai pujian
orang-orang kepadanya, beliaupun berkata, “Wahai Abu Bakar -nama
panggilan muridnya-, apabila seseorang telah mengenal jati dirinya, maka
tidak lagi bermanfaat ucapan (pujian) orang lain terhadapnya.” (lihat
Ma’alim fi Thariq Thalabil Ilm, hal. 22). Ini adalah Imam Ahmad, seorang
yang telah hafal satu juta hadits dan rela mempertaruhkan nyawanya demi
menegakkan Sunnah dan membasmi bid’ah. Demikianlah akhlak salaf,
aduhai… di manakah posisi kita bila dibandingkan dengan mereka?
Jangan-jangan kita ini tergolong orang yang maghrur/tertipu dengan
pujian orang lain kepada kita. Orang lain mungkin menyebut kita sebagai
‘anak ngaji’, orang alim, orang soleh, atau bahkan aktifis dakwah.
Namun, sesungguhnya kita sendiri mengetahui tentang jati diri kita yang
sebenarnya, segala puji hanya bagi Allah yang telah menutupi aib-aib
kita di hadapan manusia… Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami
Islam menyeru kepada akhlak yang mulia
Islam mengajarkan sikap peduli kepada sesama dan agar tidak bersikap masa bodoh terhadap nasib atau keadaan mereka
Sesungguhnya
ketaatan itu -meskipun terasa sulit atau berat bagi jiwa- pasti akan
membuahkan manfaat besar yang kembali kepada pelakunya sendiri.
Sebaliknya, kedurhakaan/maksiat itu -meskipun terasa menyenangkan dan
enak- maka pasti akan berdampak jelek bagi dirinya sendiri. Ibnul Qayyim
rahimahullah berkata, “Perkara paling bermanfaat secara mutlak adalah
ketaatan manusia kepada Rabbnya secara lahir maupun batin. Adapun
perkara paling berbahaya baginya secara mutlak adalah kemaksiatan
kepada-Nya secara lahir ataupun batin.” (al-Fawa’id, hal. 89). Allah
ta’ala telah menegaskan (yang artinya), “Bisa jadi kalian membenci
sesuatu padahal itu baik bagi kalian, dan bisa jadi kalian menyenangi
sesuatu padahal itu adalah buruk bagi kalian. Allah Maha mengetahui,
sedangkan kalian tidak mengetahui -segala sesuatu-.” (QS. al-Baqarah:
216)
Pahala
besar bagi orang yang berjiwa besar; yaitu orang yang tidak segan-segan
untuk menyisihkan sesuatu yang dicintainya -yaitu harta- guna berinfak
di jalan Allah, mau melapangkan dadanya untuk memaafkan kesalahan orang
lain kepadanya, serta bersikap tawadhu’ dan tidak meremehkan orang lain.
Ketiga
macam amal soleh ini -dengan izin Allah- bisa terkumpul dalam diri
seseorang. Dia menjadi orang yang dermawan, suka memaafkan, dan juga
rendah hati. Perhatikanlah sifat-sifat dan kepribadian Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, niscaya ketiga sifat ini akan kita
temukan dalam diri beliau. Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah teladan yang baik,
yaitu bagi orang yang berharap kepada Allah dan hari akhir serta banyak
mengingat Allah.” (QS. al-Ahzab: 21)
Di
samping menyeru kepada persatuan umat Islam -di atas kebenaran- maka
Islam juga menyerukan perkara-perkara yang menjadi perantara atau sebab
terwujudnya hal itu. Di antaranya adalah dengan menganjurkan 3 hal di
atas: suka bersedekah -yang wajib ataupun yang sunnah-, suka memaafkan,
dan bersikap rendah hati/tawadhu’. Sesungguhnya, kalau kita mau
mencermati kondisi kita di jaman ini -yang diwarnai dengan kekacauan
serta fitnah yang timbul di medan dakwah-, akan kita dapati bahwa
kebanyakan di antara kita -barangkali- amat sangat kurang dalam
menerapkan ketiga hal tadi. Akibat tidak suka bersedekah, banyak
kepentingan umat -khususnya dakwah- yang tidak terurus dengan baik.
Akibat sulit memaafkan, permusuhan yang tadinya hanya bersifat personal
pun akhirnya melebar menjadi permusuhan kelompok. Akibat perasaan lebih
tinggi dan gengsi, jalinan ukhuwah yang terkoyak pun seolah tak bisa
dijalin kembali. Masing-masing pihak ingin menang sendiri dan berat
mendengarkan pandangan atau argumentasi saudaranya. Maka yang terjadi
adalah sikap saling menyalahkan, dan kalau perlu menjatuhkan kehormatan
saudaranya tanpa alasan yang dibenarkan. Kalau seperti itu caranya, ya
tidak akan pernah ketemu… Bisa jadi ini hanya sekedar analisa, namun
tidak kecil kemungkinannya itu merupakan realita yang ada, wallahul
musta’an. Sebagian orang, setelah selesai mendengar kritikan dari
saudaranya seketika itu pula ia memberikan ‘serangan balik’ kepada sang
pengkritik. Padahal, nasehat yang didengarnya belum lagi meresap ke
dalam akal sehatnya. Karena merasa dirinya telah ‘dilecehkan’ dia pun
berkata kepada temannya, “Saya juga punya kritikan kepadamu. Kamu itu
begini dan begitu…” Wahai saudaraku -semoga Allah merahmatimu- marilah
kita bersama-sama berlatih untuk menerima kritik dan nasehat dengan
lapang dada (lihat wasiat ke-31 bagi penuntut ilmu, dalam Ma’alim fi
Thariq Thalabil ‘Ilm, hal. 268-269). Ingatlah ucapan seorang Syaikh yang
mulia ketika berceramah menegaskan isi nasehat Syaikh Rabi’ bin Hadi
–hafizhahullah– dalam Daurah Nasional yang belum lama berlalu di Masjid
Agung Bantul Yogyakarta, “Tidak ada seorang insanpun melainkan pasti
pernah terjatuh dalam kekeliruan… Namun, yang tercela adalah orang yang
tetap bersikukuh mempertahankan kesalahannya.” Semoga Allah menjadikan
kita sebagai orang-orang yang berjiwa besar, Allahumma amin.
Rabbanaghfirlana wa li ikhwaninal ladzina sabaquna bil iman, wa laa
taj’al fi qulubina ghillal lilladzina amanu, Rabbana innaka ra’ufur
rahim.
0 komentar:
Post a Comment