Perjalanan Hidup Manusia

Hasil gambar untuk TIKET PERJALANAN MANUSIA

TIKET PERJALANAN MANUSIA


( IDENTITAS PENUMPANG )

Nama*             : Annas/Manusia
Tempat Asal*  : Tanah
Alamat*           : Planet Bumi


( KETERANGAN PERJALANAN )


Terminal Keberangkatan* : Dunia
Transit*                             : Alam Kubur
Terminal Kedatangan*      : Padang Mahsyar
Tujuan Akhir*                   : Syurga/Neraka
Jam Keberangkatan*         : Surprise/Menunggu izra'il Menjemput
Check In*                          : Akan Dilakukan Oleh Malaikat Maut

( BARANG BAWAAN YANG DIIJINKAN )
1. Kain Kafan
2. Iman
3. Amal Sholih

Panduan Sholat Lengkap

Niat




Sesungguhnya amal yang ikhlas tapi tidak benar, ia tidak akan diterima, begitu pula ketika amal itu benar tapi tidak ikhlas… Ia tidak akan diterima hingga menjadi amal yang ikhlas dan benar. (Ikhlas jika dilakukan karena Alloh, dan benar jika dilakukan sesuai tuntunan

Oleh Karena itu... berhati hatilah dalam menjaga pikiran dan sikap kita. Terus bersihkan hati, agar kita semakin mudah dalam merasakan kehadiran dan pengawasan Allah.

Seseorang yang tauhidnya bagus, dapat dipastikan bahwa akhlaknya juga terjaga

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah di antara kalian orang yang terbaik amalnya.” (QS. al-Mulk : 2)

Perjalanan Menuju Akhirat



Hari akhirat, hari setelah kematian yang wajib diyakini kebenarannya oleh setiap orang yang beriman kepada Allah ta’ala dan kebenaran agama-Nya. Hari itulah hari pembalasan semua amal perbuatan manusia, hari perhitungan yang sempurna, hari ditampakkannya semua perbuatan yang tersembunyi sewaktu di dunia, hari yang pada waktu itu orang-orang yang melampaui batas akan berkata dengan penuh penyesalan.


يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي

“Duhai, alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.” (Qs. Al Fajr: 24)

Maka seharusnya setiap muslim yang mementingkan keselamatan dirinya benar-benar memberikan perhatian besar dalam mempersiapkan diri dan mengumpulkan bekal untuk menghadapi hari yang kekal abadi ini. Karena pada hakikatnya, hari inilah masa depan dan hari esok manusia yang sesungguhnya, yang kedatangan hari tersebut sangat cepat seiring dengan cepat berlalunya usia manusia. Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al Hasyr: 18)

Dalam menafsirkan ayat di atas Imam Qotadah berkata: “Senantiasa tuhanmu (Allah) mendekatkan (waktu terjadinya) hari kiamat, sampai-sampai Dia menjadikannya seperti besok.” (Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Ighaatsatul Lahfan (hal. 152 – Mawaaridul Amaan). Beliau (Abu Qatadah) adalah Qotadah bin Di’aamah As Saduusi Al Bashri (wafat setelah tahun 110 H), imam besar dari kalangan tabi’in yang sangat terpercaya dan kuat dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (lihat kitab Taqriibut Tahdziib, hal. 409)

Semoga Allah ta’ala meridhai sahabat yang mulia Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu yang mengingatkan hal ini dalam ucapannya yang terkenal: “Hisab-lah (introspeksilah) dirimu (saat ini) sebelum kamu di-hisab (diperiksa/dihitung amal perbuatanmu pada hari kiamat), dan timbanglah dirimu (saat ini) sebelum (amal perbuatan)mu ditimbang (pada hari kiamat), karena sesungguhnya akan mudah bagimu (menghadapi) hisab besok (hari kiamat) jika kamu (selalu) mengintrospeksi dirimu saat ini, dan hiasilah dirimu (dengan amal shaleh) untuk menghadapi (hari) yang besar (ketika manusia) dihadapkan (kepada Allah ta’ala):

يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لا تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ

“Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Allah), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi-Nya).” (Qs. Al Haaqqah: 18). (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab beliau Az Zuhd (hal. 120), dengan sanad yang hasan)

Senada dengan ucapan di atas sahabat yang mulia Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya dunia telah pergi meninggalkan (kita) sedangkan akhirat telah datang di hadapan (kita), dan masing-masing dari keduanya (dunia dan akhirat) memiliki pengagum, maka jadilah kamu orang yang mengagumi/mencintai akhirat dan janganlah kamu menjadi orang yang mengagumi dunia, karena sesungguhnya saat ini (waktunya) beramal dan tidak ada perhitungan, adapun besok (di akhirat) adalah (saat) perhitungan dan tidak ada (waktu lagi untuk) beramal.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Az Zuhd (hal. 130) dan dinukil oleh Imam Ibnu Rajab Al Hambali dalam kitab beliau Jaami’ul ‘uluumi wal hikam (hal. 461)).

Jadilah kamu di dunia seperti orang asing…

Dunia tempat persinggahan sementara dan sebagai ladang akhirat tempat kita mengumpulkan bekal untuk menempuh perjalanan menuju negeri yang kekal abadi itu. Barangsiapa yang mengumpulkan bekal yang cukup maka dengan izin Allah dia akan sampai ke tujuan dengan selamat, dan barang siapa yang bekalnya kurang maka dikhawatirkan dia tidak akan sampai ke tujuan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita sikap yang benar dalam kehidupan di dunia dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan.” (HR. Al Bukhari no. 6053)

Hadits ini merupakan bimbingan bagi orang yang beriman tentang bagaimana seharusnya dia menempatkan dirinya dalam kehidupan di dunia. Karena orang asing (perantau) atau orang yang sedang melakukan perjalanan adalah orang yang hanya tinggal sementara dan tidak terikat hatinya kepada tempat persinggahannya, serta terus merindukan untuk kembali ke kampung halamannya. Demikianlah keadaan seorang mukmin di dunia yang hatinya selalu terikat dan rindu untu kembali ke kampung halamannya yang sebenarnya, yaitu surga tempat tinggal pertama kedua orang tua kita, Adam ‘alaihis salam dan istrinya Hawa, sebelum mereka berdua diturunkan ke dunia.

Dalam sebuah nasehat tertulis yang disampaikan Imam Hasan Al Bashri kepada Imam Umar bin Abdul Azizi, beliau berkata: “…Sesungguhnya dunia adalah negeri perantauan dan bukan tempat tinggal (yang sebenarnya), dan hanyalah Adam ‘alaihis salam diturunkan ke dunia ini untuk menerima hukuman (akibat perbuatan dosanya)…” (Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Ighaatsatul Lahfaan (hal. 84 – Mawaaridul Amaan))

Dalam mengungkapkan makna ini Ibnul Qayyim berkata dalam bait syairnya:

Marilah (kita menuju) surga ‘adn (tempat menetap) karena sesungguhnya itulah

Tempat tinggal kita yang pertama, yang di dalamnya terdapat kemah (yang indah)

Akan tetapi kita (sekarang dalam) tawanan musuh (setan), maka apakah kamu melihat

Kita akan (bisa) kembali ke kampung halaman kita dengan selamat?

(Miftaahu Daaris Sa’aadah (1/9-10), juga dinukil oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 462))

Sikap hidup ini menjadikan seorang mukmin tidak panjang angan-angan dan terlalu muluk dalam menjalani kehidupan dunia, karena “barangsiapa yang hidup di dunia seperti orang asing, maka dia tidak punya keinginan kecuali mempersiapkan bekal yang bermanfaat baginya ketika kembali ke kampung halamannya (akhirat), sehingga dia tidak berambisi dan berlomba bersama orang-orang yang mengejar dunia dalam kemewahan (dunia yang mereka cari), karena keadaanya seperti seorang perantau, sebagaimana dia tidak merasa risau dengan kemiskinan dan rendahnya kedudukannya di kalangan mereka.” (Ucapan Imam Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 461), dengan sedikit penyesuaian)

Makna inilah yang diisyaratkan oleh sahabat yang meriwayatkan hadits di atas, Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu ketika beliau berkata: “Jika kamu (berada) di waktu sore maka janganlah tunggu datangnya waktu pagi, dan jika kamu (berada) di waktu pagi maka janganlah tunggu datangnya waktu sore, serta gunakanlah masa sehatmu (dengan memperbanyak amal shaleh sebelum datang) masa sakitmu, dan masa hidupmu (sebelum) kematian (menjemputmu).” (Diriwayatkan oleh imam Al Bukhari dalam kitab Shahihul Bukhari, no. 6053).

Bahkan inilah makna zuhud di dunia yang sesungguhnya, sebagaimana ucapan Imam Ahmad bin Hambal ketika beliau ditanya: Apakah makna zuhud di dunia (yang sebenarnya)? Beliau berkata: “(Maknanya adalah) tidak panjang angan-angan, (yaitu) seorang yang ketika dia (berada) di waktu pagi dia berkata: Aku (khawatir) tidak akan (bisa mencapai) waktu sore lagi.” (Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 465))

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوى

Berbekallah, dan sungguh sebaik-baik bekal adalah takwa

Sebaik-baik bekal untuk perjalanan ke akhirat adalah takwa, yang berarti “menjadikan pelindung antara diri seorang hamba dengan siksaan dan kemurkaan Allah yang dikhawatirkan akan menimpanya, yaitu (dengan) melakukan ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat kepada-Nya.” (Ucapan Imam Ibnu Rajab dalam kitab Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 196))

Maka sesuai dengan keadaan seorang hamba di dunia dalam melakukan ketaatan kepada Allah dan meninggalkan perbuatan maksiat, begitu pula keadaannya di akhirat kelak. Semakin banyak dia berbuat baik di dunia semakin banyak pula kebaikan yang akan di raihnya di akhirat nanti, yang berarti semakin besar pula peluangnya untuk meraih keselamatan dalam perjalanannya menuju surga.

Inilah diantara makna yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “Setiap orang akan dibangkitkan (pada hari kiamat) sesuai dengan (keadaannya) sewaktu dia meninggal dunia.” (HR. Muslim, no. 2878). Artinya: Dia akan mendapatkan balasan pada hari kebangkitan kelak sesuai dengan amal baik atau buruk yang dilakukannya sewaktu di dunia. (Lihat penjelasan Al Munaawi dalam kitab beliau Faidhul Qadiir (6/457))

Landasan utama takwa adalah dua kalimat syahadat: Laa ilaaha illallah dan Muhammadur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, sebaik-baik bekal yang perlu dipersiapkan untuk selamat dalam perjalanan besar ini adalah memurnikan tauhid (mengesakan Allah ta’ala dalam beribadah dan menjauhi perbuatan syirik) yang merupakan inti makna syahadat Laa ilaaha illallah dan menyempurnakan al ittibaa’ (mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi perbuatan bid’ah) yang merupakan inti makna syahadat Muhammadur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka dari itu, semua peristiwa besar yang akan dialami manusia pada hari kiamat nanti, Allah akan mudahkan bagi mereka dalam menghadapinya sesuai dengan pemahaman dan pengamalan mereka terhadap dua landasan utama Islam ini sewaktu di dunia.

Fitnah (ujian keimanan) dalam kubur yang merupakan peristiwa besar pertama yang akan dialami manusia setelah kematiannya, mereka akan ditanya oleh dua malaikat: Munkar dan Nakir (Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits riwayat At Tirmidzi (no. 1083) dan dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahiihah, no. 1391) dengan tiga pertanyaan: Siapa Tuhanmu?, apa agamamu? dan siapa nabimu? (Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih riwayat Ahmad (4/287-288), Abu Dawud, no. 4753 dan Al Hakim (1/37-39), dinyatakan shahih oleh Al Hakim dan disepakati oleh Adz Dzahabi.). Allah hanya menjanjikan kemudahan dan keteguhan iman ketika mengahadapi ujian besar ini bagi orang-orang yang memahami dan mengamalkan dua landasan Islam ini dengan benar, sehingga mereka akan menjawab: Tuhanku adalah Allah, agamaku adalah Islam dan Nabiku adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah ta’ala berfirman:

يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (Qs. Ibrahim: 27)

Makna ‘ucapan yang teguh’ dalam ayat di atas ditafsirkan sendiri oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh sahabat yang mulia Al Bara’ bin ‘Aazib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang muslim ketika ditanya di dalam kubur (oleh Malaikat Munkar dan Nakir) maka dia akan bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah (Laa Ilaaha Illallah) dan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah (Muhammadur Rasulullah), itulah (makna) firman-Nya: Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.” (HR.Al Bukhari (no. 4422), hadits yang semakna juga diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 2871))

Termasuk peristiwa besar pada hari kiamat, mendatangi telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang penuh kemuliaan, warna airnya lebih putih daripada susu, rasanya lebih manis daripada madu, dan baunya lebih harum daripada minyak wangi misk (kesturi), barangsiapa yang meminum darinya sekali saja maka dia tidak akan kehausan selamanya (Semua ini disebutkan dalam hadits yang shahih riwayat imam Al Bukhari (no. 6208) dan Muslim (no. 2292). Semoga Allah menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang dimudahkan minum darinya). Dalam hadits yang shahih (Riwayat Imam Al Bukhari (no. 6211) dan Muslim (no. 2304) dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu) juga disebutkan bahwa ada orang-orang yang dihalangi dan diusir dari telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Karena mereka sewaktu di dunia berpaling dari petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada pemahaman dan perbuatan bid’ah, sehingga di akhirat mereka dihalangi dari kemuliaan meminum air telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai balasan yang sesuai dengan perbuatan mereka.

Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Semua orang yang melakukan perbuatan bid’ah yang tidak diridhai Allah dalam agama ini akan diusir dari telaga Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam (pada hari kiamat nanti), dan yang paling parah di antara mereka adalah orang-orang (ahlul bid’ah) yang menyelisihi (pemahaman) jama’ah kaum muslimin, seperti orang-orang khawarij, Syi’ah Rafidhah dan para pengikut hawa nafsu, demikian pula orang-orang yang berbuat zhalim yang melampaui batas dalam kezhaliman dan menentang kebenaran, serta orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar secara terang-terangan, semua mereka ini dikhawatirkan termasuk orang-orang yang disebutkan dalam hadits ini (yang diusir dari telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). (Kitab Syarh Az Zarqaani ‘Ala Muwaththa-il Imaami Maalik, 1/65)

Beliau (Ibnu Abdil Barr) adalah Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Barr An Namari Al Andalusi (wafat 463 H), syaikhul Islam dan imam besar ahlus Sunnah dari wilayah Magrib, penulis banyak kitab hadits dan fikih yang sangat bermanfaat. Biografi beliau dalam kitab Tadzkiratul Huffaazh (3/1128).

Demikian pula termasuk peristiwa besar pada hari kiamat, melintasi ash shiraath (jembatan) yang dibentangkan di atas permukaan neraka Jahannam, di antara surga dan neraka. Dalam hadits yang shahih (Riwayat imam Al Bukhari (no. 7001) dan Muslim (no. 183) dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu) disebutkan bahwa keadaan orang yang melintasi jembatan tersebut bermacam-macam sesuai dengan amal perbuatan mereka sewaktu di dunia. “Ada yang melintasinya secepat kerdipan mata, ada yang secepat kilat, ada yang secepat angin, ada yang secepat kuda pacuan yang kencang, ada yang secepat menunggang onta, ada yang berlari, ada yang berjalan, ada yang merangkak, dan ada yang disambar dengan pengait besi kemudian dilemparkan ke dalam neraka Jahannam” – na’uudzu billahi min daalik – (Ucapan syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab beliau Al Aqiidah al Waasithiyyah, hal. 20) .

Syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin ketika menjelaskan sebab perbedaan keadaan orang-orang yang melintasi jembatan tersebut, beliau berkata: “Ini semua (tentu saja) bukan dengan pilihan masing-masing orang, karena kalau dengan pilihan (sendiri) tentu semua orang ingin melintasinya dengan cepat, akan tetapi (keadaan manusia sewaktu) melintasi (jembatan tersebut) adalah sesuai dengan cepat (atau lambatnya mereka) dalam menerima (dan mengamalkan) syariat Islam di dunia ini; barangsiapa yang bersegera dalam menerima (petunjuk dan sunnah) yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka diapun akan cepat melintasi jembatan tersebut, dan (sebaliknya) barangsiapa yang lambat dalam hal ini, maka diapun akan lambat melintasinya; sebagai balasan yang setimpal, dan balasan (perbuatan manusia) adalah sesuai dengan jenis perbuatannya.” (Kitab Syarhul Aqiidatil Waasithiyyah, 2/162)

وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

Balasan akhir yang baik (yaitu Surga) bagi orang-orang yang bertakwa

Akhirnya, perjalanan manusia akan sampai pada tahapan akhir; surga yang penuh kenikmatan, atau neraka yang penuh dengan siksaan yang pedih. Di sinilah Allah ta’ala akan memberikan balasan yang sempurna bagi manusia sesuai dengan amal perbuatan mereka di dunia. Allah ta’ala berfirman:

فَأَمَّا مَنْ طَغَى وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى، وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى

“Adapun orang-orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)” (Qs.  An Naazi’aat: 37-41).

Maka balasan akhir yang baik hanyalah Allah peruntukkan bagi orang-orang yang bertakwa dan membekali dirinya dengan ketaatan kepada-Nya, serta menjauhi perbuatan yang menyimpang dari agama-Nya. Allah ta’ala berfirman:

تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوّاً فِي الْأَرْضِ وَلا فَسَاداً وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, dan kesudahan (yang baik) itu (surga) adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al Qashash: 83)

Syaikh Abdurrahman As Sa’di berkata: “…Jika mereka (orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini) tidak mempunyai keinginan untuk menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, maka konsekwensinya (berarti) keinginan mereka (hanya) tertuju kepada Allah, tujuan mereka (hanya mempersiapkan bekal untuk) negeri akhirat, dan keadan mereka (sewaktu di dunia): selalu merendahkan diri kepada hamba-hamba Allah, serta selalu berpegang kepada kebenaran dan mengerjakan amal shaleh, mereka itulah orang-orang bertakwa yang akan mendapatkan balasan akhir yang baik (surga dari Allah ta’ala).” (Taisiirul Kariimir Rahmaan fi Tafsiiri Kalaamil Mannaan, hal. 453)

Penutup

Setelah kita merenungi tahapan-tahapan perjalanan besar ini, marilah kita bertanya kepada diri kita sendiri: sudahkah kita mempersiapkan bekal yang cukup supaya selamat dalam perjalanan tersebut? Kalau jawabannya: belum, maka jangan putus asa, masih ada waktu untuk berbenah diri dan memperbaiki segala kekurangan kita -dengan izin Allah ta’ala- . Caranya, bersegeralah untuk kembali dan bertobat kepada Allah, serta memperbanyak amal shaleh pada sisa umur kita yang masih ada. Dan semua itu akan mudah bagi orang yang Allah berikan taufik dan kemudahan baginya.

Imam Fudhail bin ‘Iyaadh pernah menasehati seseorang lelaki, beliau berkata: “Berapa tahun usiamu (sekarang)”? Lelaki itu menjawab: Enam puluh tahun. Fudhail berkata: “(Berarti) sejak enam puluh tahun (yang lalu) kamu menempuh perjalanan menuju Allah dan (mungkin saja) kamu hampir sampai”. Lelaki itu menjawab: Sesungguhnya kita ini milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Maka Fudhail berkata: “Apakah kamu paham arti ucapanmu? Kamu berkata: Aku (hamba) milik Allah dan akan kembali kepada-Nya, barangsiapa yang menyadari bahwa dia adalah hamba milik Allah dan akan kembali kepada-Nya, maka hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan berdiri (di hadapan-Nya pada hari kiamat nanti), dan barangsiapa yang mengetahui bahwa dia akan berdiri (di hadapan-Nya) maka hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban (atas perbuatannya selama di dunia), dan barangsiapa yang mengetahui bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban (atas perbuatannya) maka hendaknya dia mempersiapkan jawabannya.” Maka lelaki itu bertanya: (Kalau demikian) bagaimana caranya (untuk menyelamatkan diri ketika itu)? Fudhail menjawab: “(Caranya) mudah.” Leleki itu bertanya lagi: Apa itu? Fudhail berkata: “Engkau memperbaiki (diri) pada sisa umurmu (yang masih ada), maka Allah akan mengampuni (perbuatan dosamu) di masa lalu, karena jika kamu (tetap) berbuat buruk pada sisa umurmu (yang masih ada), kamu akan di siksa (pada hari kiamat) karena (perbuatan dosamu) di masa lalu dan pada sisa umurmu.” (Dinukil oleh Imam Ibnu Rajab dalam kitab Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam, hal. 464)

Beliau (Fudhail bin ‘Iyaadh) adalah Fudhail bin ‘Iyaadh bin Mas’uud At Tamimi (wafat 187 H), seorang imam besar dari dari kalangan atba’ut tabi’in yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seorang ahli ibadah (lihat kitab Taqriibut Tahdziib, hal. 403)

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan doa dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam HR. Muslim, no. 2720) dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) untuk kebaikan agama, dunia dan akhirat kita:

Ya Allah, perbaikilah agamaku yang merupakan penentu (kebaikan) semua urusanku, dan perbaikilah (urusan) duniaku yang merupakan tempat hidupku, serta perbaikilah akhiratku yang merupakan tempat kembaliku (selamanya), jadikanlah (masa) hidupku sebagai penambah kebaikan bagiku, dan (jadikanlah) kematianku sebagai penghalang bagiku dari semua keburukan.

Iman, Bertambah dan Berkurang



Sesungguhnya segala puji adalah bagi Allah. Kita memuji, meminta pertolongan, ampunan dan bertaubat kepada-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari keburukan hawa nafsu kita dan dari keburukan amal-amal kita. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Barang siapa yang disesatkan oleh-Nya maka tidak ada lagi yang bisa menunjukinya. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Aku pun bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, orang yang dikasihi dan dicintai-Nya, orang yang dipercaya oleh-Nya untuk menyampaikan wahyu dan syari’at-Nya kepada umat manusia. Semoga salawat dan keselamatan terlimpah kepada beliau dan juga kepada para pengikutnya, serta para sahabatnya semua, semoga keselamatan sebanyak-banyaknya selalu tercurah kepada mereka.


Amma ba’du.
Wahai hamba-hamba Allah,

Aku wasiatkan kepada kalian dan juga kepada diriku untuk senantiasa bertakwa kepada Allah. Karena barang siapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan menjaganya dan membimbingnya menuju kebaikan agama dan dunianya. Kemudian, ketahuilah -semoga Allah merahmati kalian- sesungguhnya perkara paling penting yang harus diperhatikan oleh setiap hamba di dalam kehidupan ini adalah keimanan. Itulah perkara paling utama yang digapai oleh jiwa dan dirasakan oleh hati. Dengan iman itulah seorang hamba akan mendapatkan ketinggian derajat di dunia dan di akhirat. Bahkan semua kebaikan di dunia dan di akhirat bergantung pada iman yang benar. Maka iman itu merupakan cita-cita terbesar, tujuan yang teragung, dan target yang paling utama. Dengan iman itulah -wahai hamba-hamba Allah- seorang hamba akan merasakan kehidupan yang baik di dua alam (dunia dan akhirat) dan akan terselamatkan dari bebagai perkara yang dibenci, keburukan, dan perkara-perkara yang berat dan menyusahkan. Dengan iman itulah akan diperoleh pemberian yang terindah dan anugerah yang maha luas. Dengan iman itulah akan diraih pahala di akhirat dan memasukkan diri ke dalam surga yang lebarnya sebagaimana lebarnya langit dan bumi. Di dalamnya terdapat kenikmatan yang belum pernah terlihat oleh mata, belum pernah terdengar oleh telinga, dan belum pernah terbetik di dalam hati manusia. Dengan iman itulah -wahai hamba-hamba Allah- seorang hamba akan selamat dari neraka yang siksanya sangat keras dan jurangnya sangat dalam, panasnya sangat menyakitkan. Dengan iman itulah seorang hamba akan bisa mendapatkan keberuntungan menggapai keridaan Rabbnya Yang Maha Suci, sehingga Allah tidak akan murka kepadanya selama-lamanya yang dengannya dia akan merasakan kelezatan pada hari kiamat dengan memandang wajah-Nya yang mulia tanpa ada kesempitan yang menyulitkan dan tanpa fitnah yang menyesatkan. Dengan iman itulah hati merasa tenteram, jiwa menjadi tenang, dan hati merasa ringan. Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah, ingatlah sesungguhnya dengan mengingat Allah maka hati akan menjadi tenteram.” (Qs. ar-Ra’d: 28). Betapa banyak manfaat agung dan pengaruh yang penuh berkah, buah yang elok dan kebaikan yang senantiasa mengalir dari keimanan, ketika di dunia maupun kelak di akhirat. Manfaatnya begitu banyak sehingga tidak bisa kita hitung dan tidak bisa diliputi selain Allah saja. Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah ada satu jiwa yang mengetahui kenikmatan yang disembunyikan dari mereka berupa kesenangan yang akan menyejukkan hati sebagai balasan atas apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Qs. as-Sajdah: 17)

Wahai hamba-hamba Allah
Sesungguhnya iman merupakan sebuah pohon yang diberkahi, manfaatnya sangat besar dan faidahnya sangat melimpah serta buahnya sangat lebat. Ia memiliki tempat untuk ditanami dan mata air untuk mengairinya. Ia memilki pokok dan cabang-cabang serta buah-buahan. Adapun tempat iman itu adalah di dalam hati seorang mukmin, di dalamnya diletakkan benih-benihnya dan tumbuh darinya pokok-pokoknya, dan darinya tumbuhlah cabang dan rantingnya. Adapun mata air yang akan mengairinya adalah wahyu yang terang yaitu Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Melalui mata air itulah pohon iman yang diberkahi ini akan disirami. Tidak akan ada kehidupan dan pertumbuhan baginya kecuali dengan air tersebut. Adapun pokoknya -wahai hamba-hamba Allah- adalah pokok-pokok keimanan yang enam; iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan iman kepada takdir yang baik maupun yang buruk. Sedangkan pokok yang tertinggi dari pokok-pokok ini adalah keimanan kepada Allah, maka itulah pokok yang paling mendasar bagi pohon yang diberkahi ini. Adapun cabang-cabangnya adalah amal-amal salih dan ketaatan yang beraneka ragam serta berbagai amal yang mendekatkan diri kepada Allah yang dilakukan oleh seorang mukmin berupa sholat, zakat, haji, puasa, berbuat baik, ihsan, dan lain sebagainya. Sedangkan buah-buahannya adalah semua kebaikan dan kebahagiaan yang diperoleh seorang mukmin ketika di dunia maupun di akhirat, maka itu semua merupakan buah dari keimanan dan hasil darinya. Allah berfirman (yang artinya), “Barang siapa yang melakukan amal salih baik dari kalangan lelaki maupun perempuan sedangkan dia adalah orang yang beriman, maka Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik dan Kami akan membalas mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka lakukan.” (Qs. an-Nahl: 97)

Wahai hamba-hamba Allah
Manusia itu bertingkat-tingkat dalam hal keimanan dengan perbedaan yang sangat bervariasi tergantung dengan keberagaman mereka dalam mewujudkan sifat-sifat ini, kuat maupun lemahnya, bertambah atau berkurangnya. Oleh sebab itu sudah semestinya seorang hamba muslim yang ingin mendapatkan kebaikan bagi dirinya untuk bersungguh-sungguh dalam memahami sifat-sifat ini dan memperhatikannya kemudian menerapkannya di dalam kehidupannya agar dia semakin bertambah iman dan menguat keyakinannya dan kebaikan-kebaikannya semakin melimpah. Sebagaimana pula sudah semestinya -wahai hamba-hamba Allah- agar menjaga dirinya dari terjerumus dalam perkara-perkara yang mengurangi keimanan dan melemahkan agama, hal itu supaya nantinya dia bisa terselamatkan dari akibat buruknya dan kerugiannya yang menyakitkan.

Wahai hamba-hamba Allah
Ada banyak sebab yang bisa meningkatkan keimanan dan mengokohkannya. Yang terpenting di antaranya adalah dengan mempelajari ilmu yang bermanfaat, membaca al-Qur’an dan merenungkan isinya, mengenal nama-nama Allah yang terindah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi serta memperhatikan keelokan agama Islam yang hanif ini serta mempelajari sejarah perjalanan hidup Nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sejarah para sahabatnya yang mulia. Dan dengan memperhatikan dan meneliti alam raya yang luas ini dan berbagai penunjukan yang jelas di dalamnya serta hujjah-hujjah yang gamblang dan bukti-bukti yang terang. “Wahai Rabb kami, sama sekali Engkau tidak menciptakan ini semua dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka jagalah kami dari siksa neraka.” (Qs. Ali Imran). Sebagaimana pula iman itu bertambah dengan kesungguhan dan usaha keras dalam melakukan ketaatan kepada Allah serta menjaga perintah-perintah-Nya dan memelihara waktu di dalam ketaatan kepada-Nya serta melakukan hal-hal yang bisa mendekatkan diri kepada-Nya. “Orang-orang yang bersungguh-sungguh di atas jalan Kami maka Kami akan tunjukkan kepadanya jalan-jalan menuju keridaan Kami. Sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. al-‘Ankabut: 69)

Wahai hamba-hamba Allah
Sesungguhnya di sisi lain ada juga perkara-perkara lain yang dapat mengurangi dan melemahkan keimanan. Wajib bagi setiap hamba yang beriman untuk melindungi dirinya agar tidak terseret ke sana dan berusaha berhati-hati untuk tidak terjerumus di dalamnya. Salah satu sebab utamanya adalah karena kebodohan tentang agama Allah, kelalaian, berpaling dari ketaatan, melakukan kemaksiatan-kemaksiatan, berkubang dosa, menuruti keinginan nafsu yang mengajak kepada keburukan, bergaul dengan orang-orang fasik dan gemar berbuat dosa, mengikuti hawa nafsu dan syaitan, tertipu oleh kesenangan dunia dan terfitnah olehnya sehingga hal itu membuat dunia itulah yang menjadi puncak angan-angan seorang manusia dan tujuan hidupnya yang paling utama.

Wahai hamba-hamba Allah
Ketika para pendahulu umat ini dan generasi pertamanya beserta orang-orang pilihan di antara mereka menyadari keagungan iman ini dan merasakan betapa besar kebutuhan mereka kepadanya lebih daripada kebutuhan kepada makanan dan minuman serta udara untuk bernafas maka perhatian mereka kepadanya juga sangat besar dan lebih didahulukan daripada semua urusan. Dahulu mereka berusaha sekuat tenaga untuk memelihara iman mereka, memeriksa amal-amal mereka, dan saling menasihati di antara mereka. Umar bin al-Khatthab radhiyallahu’anhu mengatakan kepada para sahabatnya, “Marilah, kita berkumpul sejenak untuk meningkatkan iman.” Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Duduklah bersama kami sejenak, kita akan menambah keimanan.” Beliau juga sering mengatakan di dalam doanya, “Ya Allah, tambahkanlah kepada kami iman, keyakinan, dan kepahaman.” Abdullah bin Rawahah radhiyallahu’anhu memegang tangan sekelompok orang dari para sahabatnya seraya mengatakan, “Marilah, kita beriman barang sejenak. Marilah, kita mengingat Allah dan menambah keimanan dengan ketaatan kepada-Nya semoga Allah mengingat kita dengan ampunan-Nya.” Abud Darda’ radhiyallahu’anhu mengatakan, “Salah satu bukti kepahaman seorang hamba adalah ketika dia mengetahui apakah dia sedang menambah atau mengurangi.” Maksudnya adalah iman. “Dan bukti kepahaman seseorang ialah tatkala dia mengetahui dari manakah datangnya bujukan syaitan kepadanya.” Umair bin Habib al-Khazhami radhiyallahu’anhu mengatakan, “Iman itu bertambah dan berkurang.” Maka ada orang yang bertanya kepada beliau, “Apa yang dimaksud dengan bertambah dan berkurangnya?” Beliau menjawab, “Apabila kita mengingat Allah ‘azza wa jala dan memuji-Nya dan menyucikan-Nya maka itulah pertambahannya. Dan apabila kita lalai, menyia-nyiakan dan lupa maka itulah berkurangnya.” Nukilan-nukilan dari mereka tentang perkara ini banyak sekali.

Wahai hamba-hamba Allah
Oleh karena itulah, sesungguhnya seorang hamba beriman yang diberi taufik akan senantiasa berusaha di dalam hidupnya untuk mewujudkan dua perkara yang agung dan tujuan yang mulia. Pertama: memperkuat keimanan dan cabang-cabangnya serta menggapainya dengan sungguh-sungguh dalam bentuk ilmu maupun amalan. Dan yang kedua: berusaha sekuat tenaga untuk menyingkirkan hal-hal yang dapat meniadakan atau membatalkan serta menguranginya berupa fitnah-fitnah yang tampak maupun yang tersembunyi dan berusaha untuk mengobati kekurangannya pada perkara yang pertama (kekurangan dalam memperkuat iman) serta mengobati perkara yang telah dilanggarnya dari perkara yang kedua (menepis pengikis keimanan) dengan cara bertaubat dengan tulus dan murni, mengejar amal sebelum waktunya lenyap, dan menghadapkan diri kepada Allah jalla wa ‘ala dengan sepenuhnya dan hati yang jujur ingin kembali taat kepada-Nya, jiwa yang merendah dan penuh ketenangan, patuh secara penuh kepada Allah, mengharapkan rahmat Allah dan takut akan hukuman-Nya. Maka kita meminta kepada Allah Yang Maha Mulia dengan nama-nama-Nya yang terindah dan sifat-sifat-Nya yang maha tinggi semoga Allah menganugerahkan kepada kita semua untuk bisa merealisasikan itu semua dan menyempurnakannya sebagaimana yang diridai oleh-Nya bagi kita. Semoga Allah melimpahkan kepada kita semua rezeki berupa keimanan yang jujur dan keyakinan yang sempurna, taubat yang tulus. Dan semoga Allah mengampuni kita, kedua orang tua kita, kaum muslimin lelaki dan perempuan, kaum mukminin lelaki dan perempuan. Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah. Yang telah memberikan kebaikan yang sangat besar dan keutamaan yang sangat luas, yang maha pemurah lagi mencurahkan kenikmatan. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah semata tiada sekutu bagi-Nya. Aku pun bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya semoga salawat tercurah kepadanya dan kepada pengikutnya, para sahabatnya semua, beserta keselamatan sebanyak-banyaknya semoga terlimpah kepada mereka.

Amma ba’du.

Wahai hamba-hamba Allah, aku wasiatkan kepada kalian dan diriku untuk tetap bertakwa kepada Allah. Karena sesungguhnya ketakwaan kepada Allah jalla wa ‘ala adalah asas keberhasilan dan alamat kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Ketakwaan kepada Allah jalla wa ‘ala yaitu dengan cara seorang hamba melakukan amal ketaatan di atas cahaya dari Allah dan mengharapkan pahala dari Allah serta dengan meninggalkan kemaksiatan ke[ada Allah di atas cahaya dari Allah karena takut akan hukuman Allah. Wahai hamba-hamba Allah, al-Hakim di dalam Mustadrak-nya dan at-Thabrani di dalam Mu’jam Kabir-nya meriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash radhiyallahu’anhuma, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya iman akan usang di rongga salah seorang dari kalian sebagaimana halnya pakaian, maka mintalah kepada Allah agar memperbaharui iman di dalam hati kalian.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan sifat iman itu bisa usang sebagaimana halnya pakaian, maksudnya ia bisa menjadi usang dan lemah dan bisa dimasuki oleh kekurangan akibat perbuatan apa saja yang dilakukan oleh manusia, yang berupa kemaksiatan, dosa serta apa pun yang ditemui olehnya di dalam kehidupan ini berupa hal-hal yang melalaikan yang beraneka ragam, fitnah-fitnah yang besar, sehingga dapat menghilangkan kekuatan iman, kehidupannya, dan kekokohannya, sehingga memperlemah keindahan, keelokan, dan kemegahannya. Oleh sebab itulah maka Nabi ‘alaihis sholatu was salam membimbing kita di dalam hadits yang agung ini agar selalu menjaga dan memelihara keimanan dan amal agar kuat dan meminta kepada Allah tabaraka wa ta’ala untuk menambahkan iman itu dan menetapkannya. Allah jalla wa ‘ala berfirman (yang artinya), “Akan tetapi Allah lah yang membuat kalian senang kepada iman dan memperindahnya di dalam hati kalian, dan membuat kalian benci kepada kekafiran, kefasikan dan kemaksiatan. Mereka itulah orang-orang yang lurus.” (Qs. al-Hujurat). Maka termasuk kebaikan -wahai hamba-hamba Allah- termasuk kebaikan bagi seorang hamba yang beriman untuk menasihati dirinya sendiri demi kebaikan imannya yang itu merupakan harta paling berharga padanya dan sesuatu yang paling mahal miliknya, itulah bekal terbaik untuk berjumpa dengan Allah.

Orang yang cerdik -wahai hamba-hamba Allah- adalah orang yang menundukkan nafsunya dan beramal untuk menyambut apa yang akan terjadi setelah kematian. Sedangkan orang yang tidak mampu itu adalah orang yang membiarkan diri memperturutkan hawa nafsunya dan mengangankan berbagai keinginan kepada Allah. Ucapkanlah salawat dan salam kepada Muhammad bin Abdullah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah kepada kalian di dalam Kitab-Nya, Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya mengucapkan salawat kepada Nabi, hai orang-orang yang beriman ucapkanlah salawat kepadanya dan doakanlah keselamatan untuknya.” (Qs. al-Ahzab). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barang siapa yang bersalawat kepadaku sekali maka Allah akan mengucapkan salawat kepadanya sepuluh kali.” Terdapat pula perintah dan dorongan dari beliau ‘alaihis sholatu was salam untuk memperbanyak salawat dan doa keselamatan untuknya pada malam Jum’at dan di siang hari Jum’at, maka perbanyaklah pada hari yang cerah dan diberkahi ini dengan mengucapkan salawat dan doa keselamatan bagi Rasulullah. Ya Allah, curahkanlah pujian kepada Muhammad dan kepada pengikut Muhammad sebagaimana Engkau telah memuji Ibrahim dan pengikut Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Berkahilah Muhammad dan pengikut Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkahi Ibrahim dan pengikut Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Dan ridailah ya Allah, para khulafa’ur rasyidin para iman yang berjalan di atas petunjuk yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Dan ridailah ya Allah, seluruh para sahabat dan para tabi’in serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat dan ridailah kami bersama mereka dengan karunia-Mu dan kemurahan serta kebaikan dari-Mu wahai Dzat Yang Termulia di antara sosok-sosok yang paling mulia. Ya Allah, muliakanlah Islam dan kaum muslimin. Ya Allah, muliakanlah Islam dan kaum muslimin. Ya Allah, muliakanlah Islam dan kaum muslimin. Ya Allah, muliakanlah Islam dan kaum muslimin. Hinakanlah syirik dan kaum musyrikin dan hancurkanlah musuh-musuh agama. Ya Allah, tolonglah orang-orang yang menolong agama ini. Ya Allah belalah agama-Mu ini, Kitab-Mu, dan Sunah nabi-Mu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ya Allah tolonglah saudara-saudara kami kaum muslimin di semua tempat. Ya Allah tolonglah mereka yang ada di Palestina dan di mana saja mereka berada. Ya Allah, tolonglah mereka dengan sekuat-kuatnya. Ya Allah, jagalah mereka dengan penjagaan dari-Mu dan kuatkanlah mereka dengan kekuatan-Mu dan peliharalah mereka dengan bimbingan dari-Mu dan perhatian-Mu wahai Yang Maha Hidup lagi Maha Berdiri sendiri. Ya Allah, hukumlah Yahudi yang telah merampas negeri kaum muslimin, yang melanggar batas, sesungguhnya mereka sama sekali tidak bisa melawan diri-Mu. Ya Allah, porak-porandakanlah mereka dengan sehancur-hancurnya. Ya Allah, buatlah hati mereka saling memusuhi dan rusakkanlah persatuan mereka, dan jadikanlah untuk mereka kekalahan yang buruk wahai Yang Maha Hidup lagi Maha Berdiri Sendiri, wahai Yang Maha Perkasa. Ya Allah, berikanlah keamanan di negeri-negeri kami dan perbaikilah para pemimpin kami dan orang-orang yang menguasai urusan-urusan kami dan berikanlah tampuk pemerintah kami kepada orang-orang yang takut kepada-Mu dan bertakwa kepada-Mu serta mengikuti keridaan-Mu wahai Rabb alam semesta. Ya Allah, berikanlah taufik kepada pemegang urusan kami untuk melakukan apa yang Engkau cintai dan ridai, dan bantulah dia untuk melakukan kebaikan dan takwa dan luruskanlah dia di dalam ucapan-ucapan dan amal-amalnya, dan anugerahkanlah kepadanya kesehatan dan keselamatan, berikanlah kepadanya rezeki berupa pembantu-pembantu yang baik yang menunjukkannya kepada kebaikan dan menolongnya untuk itu. Ya Allah, berikanlah taufik kepada segenap para pemimpin kaum muslimin untuk melaksanakan isi Kitab-Mu dan mengikuti Sunah Nabi-Mu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan jadikanlah mereka lembut dan mengasihi hamba-hamba-Mu yang beriman. Ya Allah, berikanlah ketakwaan kepada jiwa-jiwa kami. Sucikanlah ia, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik penyuci baginya. Engkau lah penguasa dan penjaganya. Ya Allah, kami meminta kepada-Mu iman yang jujur, keyakinan yang kokoh, taubat yang tulus. Ya Allah, sesungguhnya kami meminta kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, kehormatan, dan kecukupan diri. Ya Allah, perbaikilah bagi kami agama kami yang itu merupakan penjaga bagi urusan kami. Perbaikilah dunia kami yang itu merupakan tempat penghidupan kami. Perbaikilah bagi kami akhirat kami yang itu merupakan tempat kembali kami dan jadikanlah kehidupan yang masih tersisa sebagai tambahan bagi kami dalam semua kebaikan, dan jadikanlah kematian sebagai perhentian bagi kami dari semua keburukan. Ya Allah, sesungguhnya kami meminta kepada-Mu surga dan hal-hal yang dapat mendekatkan diri ke sana berupa ucapan maupu perbuatan. Dan kami berlindung kepada-Mu dari neraka dan apa saja yang menyeret ke sana berupa ucapan maupun perbuatan. Ya Allah, damaikanlah perselisihan yang ada di antara kami, satukanlah hati-hati kami, dan tunjukilah kami jalan-jalan keselamatan dan keluarkanlah kami dari berbagai kegelapan menuju cahaya. Berkahilah harta-harta kami, waktu-waktu kami, istri-istri kami, anak-anak keturunan kami dan jadikanlah kami diberkahi di mana saja kami berada. Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami semuanya, yang kecil maupun yang besar, yang awal maupun yang akhir, yang tersembunyi maupun yang tampak. Ya Allah, ampunilah kesalahan yang dulu telah kami lakukan dan belum kami lakukan, yang kami sembunyikan maupun yang kami tampakkan dan kesalahan-kesalahan lainnya yang engkau tentu lebih mengetahui tentangnya daripada kami. Engkaulah Yang mendahulukan dan engkaulah Yang mengakhirkan. Tidak ada sesembahan yang benar selain Engkau. Ya Allah, ampunilah dosa orang-orang yang melakukan dosa dan terimalah taubat orang yang bertaubat dan tetapkanlah kesehatan, keselamatan, dan kebaikan bagi keseluruhan kaum muslimin. Ya Allah, berikanlah jalan keluar bagi kesedihan orang yang dilanda duka di antara kaum muslimin dan lepaskanlah kesulitan orang-orang yang tertimpa kesulitan, dan tunaikanlah hutang orang-orang yang terlilit hutang, dan sembuhkanlah orang-orang yang sakit di antara kami dan yang sakit di antara kaum muslimin yang lain. Wahai Rabb kami, sesungguhnya kami telah menganiaya diri kami sendiri maka apabila Engkau tidak mengampuni dan menyayangi kami niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi. Wahai Rabb kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan jagalah kami dari siksa neraka.

Dzikir Ibadah yang Sangat Agung



Segala puji bagi Allah, Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa, Yang Maha Mulia lagi Maha Pengampun. Dzat yang menetapkan takdir dan mengatur segala urusan. Dzat yang mempergilirkan malam dan siang sebagai pelajaran bagi orang-orang yang memiliki hati dan pemahaman. Dzat yang menyadarkan sebagian makhluk dan memilihnya di antara orang pilihan-Nya dan kemudian Allah memasukkan dia ke dalam golongan orang-orang yang terbaik. Dzat yang memberikan taufik kepada orang yang Dia pilih di antara hamba-hamba-Nya kemudian Allah jadikan dia termasuk golongan al-Muqarrabin al-Abrar. Segala puji bagi-Nya yang telah memberikan pencerahan kepada orang yang dicintai-Nya sehingga membuat mereka untuk bersikap zuhud di alam kehidupan dunia ini, sehingga mereka bersungguh-sungguh untuk meraih ridha-Nya serta bersiap-siap untuk menyambut negeri yang kekal. 

Oleh sebab itu, mereka pun menjauhi perkara yang membuat-Nya murka dan menjauhkan diri dari ancaman siksa neraka. Mereka menundukkan dirinya dengan penuh kesungguhan dalam ketaatan kepada-Nya serta senantiasa berdzikir kepada-Nya pada waktu petang maupun pagi. Dzikir itu senantiasa mereka lakukan walaupun terjadi perubahan keadaan dan di setiap kesempatan; malam maupun siang hari. Oleh sebab itu, bersinarlah hati mereka dengan pancaran cahaya keimanan (lihat Mukadimah Al Adzkar, dalam Shahih Al Adzkar, hal. 11)


Saudaraku -semoga Allah menyinari hati kita dengan keimanan-, dzikir merupakan ibadah yang sangat agung. Allah ta’ala berfirman,

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ

“Maka ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku juga akan mengingat kalian.” (QS. al-Baqarah: 152)

Orang-orang yang hadir dalam majelis dzikir adalah orang-orang yang berbahagia. Bagaimana tidak, sedangkan di dalam majelis itu dibacakan ayat-ayat Allah ta’ala dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang itu merupakan sumber ketenangan hati dan kebahagiaan sejati.

Allah ta’ala berfirman,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang yang apabila disebutkan nama Allah maka bergetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat mereka maka bertambahlah keimanan mereka…” (QS. al-Anfal: 2)

Di saat peperangan berkecamuk, Allah pun tetap memerintahkan ibadah yang mulia ini agar mereka menjadi orang-orang yang mendapatkan keberhasilan. Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bertemu dengan pasukan musuh maka tegarlah kalian dan ingatlah kepada Allah dengan sebanyak-banyaknya, mudah-mudahan kalian beruntung.” (QS. al-Anfal: 45)

Allah ta’ala juga berfirman,

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ingatlah, dengan mengingat Allah maka hati akan menjadi tenang.” (QS. ar-Ra’d: 28)

وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَلَى حَلْقَةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ مَا أَجْلَسَكُمْ قَالُوا جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللَّهَ وَنَحْمَدُهُ عَلَى مَا هَدَانَا لِلْإِسْلَامِ وَمَنَّ بِهِ عَلَيْنَا قَالَ آللَّهِ مَا أَجْلَسَكُمْ إِلَّا ذَاكَ قَالُوا وَاللَّهِ مَا أَجْلَسَنَا إِلَّا ذَاكَ قَالَ أَمَا إِنِّي لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ وَلَكِنَّهُ أَتَانِي جِبْرِيلُ فَأَخْبَرَنِي أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبَاهِي بِكُمْ الْمَلَائِكَةَ

Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menjumpai sebuah halaqah yang terdiri dari para sahabat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bertanya, “Apa yang membuat kalian duduk di sini?” Mereka menjawab, “Kami duduk untuk mengingat Allah ta’ala dan memuji-Nya atas petunjuk yang Allah berikan kepada kami sehingga kami bisa memeluk Islam dan nikmat-nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada kami.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Demi Allah, apakah tidak ada alasan lain bagi kalian sehingga membuat kalian duduk di sini melaikan itu?”  Mereka menjawab, “Demi Allah, tidak ada niat kami selain itu.” Beliau pun bersabda, “Adapun aku, sesungguhnya aku sama sekali tidak memiliki persangkaan buruk kepada kalian dengan pertanyaanku. Akan tetapi, Jibril datang kepadaku kemudian dia mengabarkan kepadaku bahwa Allah ‘azza wa jalla membanggakan kalian di hadapan para malaikat.” (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

“Tidaklah ada suatu kaum yang duduk untuk berdzikir kepada Allah ta’ala melainkan malaikat akan meliputi mereka dan rahmat akan menyelimuti mereka, dan akan turun kepada mereka ketenangan, dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di hadapan para malaikat yang ada di sisi-Nya.” (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوْا قَالُوْا وَمَا رِيَاضُ الجَنَّةِ قَالَ حِلَقُ الذِّكْرِ

“Apabila kalian melewati taman-taman surga maka singgahlah.” Maka para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud taman-taman surga itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Halaqah-halaqah dzikir, karena sesungguhnya Allah ta’ala memiliki malaikat yang berkeliling untuk mencari halaqah-halaqah dzikir. Apabila mereka datang kepada orang-orang itu, maka mereka pun meliputinya.” (HR. Abu Nu’aim dalam Al Hilyah dan dihasankan oleh Syaikh Salim dalam Shahih Al Adzkar, hal. 16)

An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya keutamaan dzikir itu tidak terbatas kepada tasbih, tahlil, tahmid, takbir dan semacamnya. Akan tetapi, setiap orang yang beramal ikhlas karena Allah ta’ala dengan melakukan ketaatan maka dia adalah orang yang berdzikir kepada Allah ta’ala. Demikianlah, yang dikatakan oleh Sa’id bin Jubair radhiyallahu’anhu dan para ulama yang lain. Atha’ rahimahullah mengatakan, ‘Majelis dzikir adalah majelis halal dan haram, yang membicarakan bagaimana menjual dan membeli, bagaimana shalat, menikah, thalaq, haji, … dan sebagainya.'” (Shahih Al Adzkar, hal. 18)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Sebagian dari kalangan ahli hikmah yang terdahulu dari Syam -dugaan saya adalah Sulaiman Al Khawwash rahimahullah mengatakan, ‘Dzikir bagi hati laksana makanan bagi tubuh. Maka sebagaimana tubuh tidak akan merasakan kelezatan makanan ketika menderita sakit. Demikian pula hati tidak akan dapat merasakan kemanisan dzikir apabila hatinya masih jatuh cinta kepada dunia’. Apabila hati seseorang telah disibukkan dengan mengingat Allah, senantiasa memikirkan kebenaran, dan merenungkan ilmu, maka dia telah diposisikan sebagaimana mestinya…” (Majmu’ Fatawa, 2/344)

Oleh sebab itu, menjadi orang yang banyak mengingat Allah merupakan cita-cita setiap mukmin. Allah ta’ala berfirman,

وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Dan kaum lelaki yang banyak mengingat Allah demikian pula kaum perempuan, maka Allah persiapkan untuk mereka ampunan dan pahala yang sangat besar.” (QS. Al Ahzab: 35)

Mujahid rahimahullah mengatakan, “Tidaklah tergolong lelaki dan perempuan yang banyak mengingat Allah kecuali apabila dia membiasakan diri senantiasa mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring.” (Shahih al-Adzkar, hal. 19)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَيْقَظَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّيَا أَوْ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَمِيعًا كُتِبَا فِي الذَّاكِرِينَ وَالذَّاكِرَاتِ

“Apabila seorang suami membangunkan isterinya, kemudian mereka berdua shalat bersama sebanyak dua raka’at, maka mereka berdua akan dicatat termasuk dalam golongan lelaki dan perempuan yang banyak mengingat Allah.” (HR. Abu Dawud, An Nasa’i dalam Sunan Al Kubra, dan Ibnu Majah, disahihkan oleh Syaikh Salim dalam Shahih Al Adzkar, hal. 19)

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَ بِيَدِهِ وَقَالَ يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ فَقَالَ أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لَا تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

Mu’adz bin Jabal -radhiyallahu’anhu- menceritakan bahwa suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang tangannya seraya mengucapkan, “Hai Mu’adz, demi Allah sesungguhnya aku benar-benar mencintaimu. Demi Allah, aku benar-benar mencintaimu.” Lalu beliau bersabda, “Aku wasiatkan kepadamu hai Mu’adz, jangan kamu tinggalkan bacaan setiap kali di akhir shalat hendaknya kamu berdoa, ‘Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik’ (Ya Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu).” (HR. Abu Dawud, disahihkan Al Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abi Dawud no. 1522)

Itulah sebagian keutamaan dzikir yang bisa kami kemukakan di sini, semoga Allah memberikan kepada kita taufik untuk berdzikir kepada-Nya, bersyukur kepada-Nya, dan beribadah dengan baik kepada-Nya. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahibihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Hamba yang fakir kepada ampunan Rabbnya

Semoga Allah mengampuninya

Zuhud



Kata zuhud sering disebut-sebut ketika kita mendengar nasehat dan seruan agar mengekang ketamakan terhadap dunia dan mengejar kenikmatannya yang fana dan pasti sirna, dan agar jangan melupakan kehidupan akhirat yang hakiki setelah kematian. Hal ini sebagaimana peringatan Allah tentang kehidupan dunia yang penuh dengan fatamorgana dan berbagai keindahan yang melalaikan dari hakikat kehidupan yang sebenarnya.


Allah berfirman,

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20)

Ayat ini menunjukkan bahwa kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang menipu, batil, dan sekadar permainan. Yang dimaksud sekadar permainan adalah sesuatu yang tiada bermanfaat dan melalaikan. Ayat ini juga menunjukkan bahwa dunia adalah perhiasan, dan orang-orang yang terfitnah dengan dunia menjadikannya sebagai perhiasannya dan tempat untuk saling bermegah-megahan dengan kenikmatan yang ada padanya berupa anak-anak, harta-benda, kedudukan dan yang lainnya sehingga lalai dan tidak beramal untuk akhiratnya.

Allah menyerupakan kehancuran dunia dan kefanaannya yang begitu cepat dengan hujan yang turun ke permukaan bumi. Ia menumbuhkan tanaman yang menghijau lalu kemudian berubah menjadi layu, kering dan pada akhirnya mati. Demikianlah kenikmatan dunia, yang pasti pada saatnya akan punah dan binasa. Maka barangsiapa mengambil pelajaran dari permisalan yang disebutkan di atas, akan mengetahui bahwa dunia ibarat es yang semakin lama semakin mencair dan pada akhirnya akan hilang dan sirna. Sedangkan segala apa yang ada di sisi Allah adalah lebih kekal, dan akhirat itu lebih baik dan utama sebagaimana lebih indah dan kekalnya permata dibandingkan dengan es. Apabila seseorang mengetahui dengan yakin akan perbedaan antara dunia dan akhirat dan dapat membandingkan keduanya, maka akan timbul tekad yang kuat untuk menggapai kebahagian dunia akhirat.

Definisi Zuhud

Banyak sekali penjelasan ulama tentang makna zuhud. Umumnya mengarah kepada makna yang hampir sama. Di sini akan disampaikan sebagian dari pendapat tersebut.

Makna secara bahasa:

Zuhud menurut bahasa berarti berpaling dari sesuatu karena hinanya sesuatu tersebut dan karena (seseorang) tidak memerlukannya. Dalam bahasa Arab terdapat ungkapan “syaiun zahidun” yang berarti “sesuatu yang rendah dan hina”.

Makna secara istilah:

Ibnu Taimiyah mengatakan – sebagaimana dinukil oleh muridnya, Ibnu al-Qayyim – bahwa zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat demi kehidupan akhirat.

Al-Hasan Al-Bashri menyatakan bahwa zuhud itu bukanlah mengharamkan yang halal atau menyia-nyiakan harta, akan tetapi zuhud di dunia adalah engkau lebih mempercayai apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Keadaanmu antara ketika tertimpa musibah dan tidak adalah sama saja, sebagaimana sama saja di matamu antara orang yang memujimu dengan yang mencelamu dalam kebenaran.

Di sini zuhud ditafsirkan dengan tiga perkara yang semuanya berkaitan dengan perbuatan hati:

Bagi seorang hamba yang zuhud, apa yang ada di sisi Allah lebih dia percayai daripada apa yang ada di tangannya sendiri. Hal ini timbul dari keyakinannya yang kuat dan lurus terhadap kekuasaan Allah. Abu Hazim az-Zahid pernah ditanya, “Berupa apakah hartamu?” Beliau menjawab, “Dua macam. Aku tidak pernah takut miskin karena percaya kepada Allah, dan tidak pernah mengharapkan apa yang ada di tangan manusia.” Kemudian beliau ditanya lagi, “Engkau tidak takut miskin?” Beliau menjawab, “(Mengapa) aku harus takut miskin, sedangkan Rabb-ku adalah pemilik langit, bumi serta apa yang berada di antara keduanya.”
Apabila terkena musibah, baik itu kehilangan harta, kematian anak atau yang lainnya, dia lebih mengharapkan pahala karenanya daripada mengharapkan kembalinya harta atau anaknya tersebut. Hal ini juga timbul karena keyakinannya yang sempurna kepada Allah.
Baginya orang yang memuji atau yang mencelanya ketika ia berada di atas kebenaran adalah sama saja. Karena kalau seseorang menganggap dunia itu besar, maka dia akan lebih memilih pujian daripada celaan. Hal itu akan mendorongnya untuk meninggalkan kebenaran karena khawatir dicela atau dijauhi (oleh manusia), atau bisa jadi dia melakukan kebatilan karena mengharapkan pujian. Jadi, apabila seorang hamba telah menganggap sama kedudukan antara orang yang memuji atau yang mencelanya, berarti menunjukkan bahwa kedudukan makhluk di hatinya adalah rendah, dan hatinya dipenuhi dengan rasa cinta kepada kebenaran.
Hakekat zuhud itu berada di dalam hati, yaitu dengan keluarnya rasa cinta dan ketamakan terhadap dunia dari hati seorang hamba. Ia jadikan dunia (hanya) di tangannya, sementara hatinya dipenuhi rasa cinta kepada Allah dan akhirat.

Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia secara total dan menjauhinya. Lihatlah Nabi, teladan bagi orang-orang yang zuhud, beliau mempunyai sembilan istri. Demikian juga Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman, sebagai seorang penguasa mempunyai kekuasaan yang luas sebagaimana yang disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Para Shahabat, juga mempunyai istri-istri dan harta kekayaan, yang di antara mereka ada yang kaya raya. Semuanya ini tidaklah mengeluarkan mereka dari hakekat zuhud yang sebenarnya.

Tingkatan Zuhud

Ada beberapa tingkatan zuhud sesuai dengan keadaan setiap orang yang melakukannya, yaitu:

Berusaha untuk hidup zuhud di dunia; sementara ia menghendaki (dunia tersebut), hati condong kepadanya dan selalu menoleh ke arahnya, akan tetapi ia berusaha melawan dan mencegahnya.
Orang yang meninggalkan dunia dengan suka rela, karena di matanya dunia itu rendah dan hina, meskipun ada kecenderungan kepadanya. Dan ia meninggalkan dunia tersebut (untuk akhirat), bagaikan orang yang meninggalkan uang satu dirham untuk mendapatkan uang dua dirham (maksudnya balasan akhirat itu lebih besar daripada balasan dunia).
Orang yang zuhud dan meninggalkan dunia dengan hati yang lapang. Ia tidak melihat bahwa dirinya meninggalkan sesuatu apapun. Orang seperti ini bagaikan seseorang yang hendak masuk ke istana raja, terhalangi oleh anjing yang menjaga pintu, lalu ia melemparkan sepotong roti ke arah anjing tersebut sehingga membuat anjing tersebut sibuk (dengan roti tadi), dan ia pun dapat masuk (ke istana) untuk menemui sang Raja dan mendapatkan kedekatan darinya. Anjing di sini diumpamakan sebagai syaitan yang berdiri di depan pintu (kerajaan/surga) Allah, yang menghalangi manusia untuk masuk ke dalamnya, sementara pintu tersebut dalam keadaan terbuka. Adapun roti diumpamakan sebagai dunia, maka barangsiapa meninggalkannya niscaya akan memperoleh kedekatan dari Allah.
Hal-Hal yang Mendorong untuk Hidup Zuhud

1. Keimanan yang kuat dan selalu ingat bagaimana ia berdiri di hadapan Allah pada hari kiamat guna mempertanggung-jawabkan segala amalnya, yang besar maupun yang kecil, yang tampak ataupun yang tersembunyi. Ingat! betapa dahsyatnya peristiwa datangnya hari kiamat kelak. Hal itu akan membuat kecintaannya terhadap dunia dan kelezatannya menjadi hilang dalam hatinya, kemudian meninggalkannya dan merasa cukup dengan hidup sederhana.

2. Merasakan bahwa dunia itu membuat hati terganggu dalam berhubungan dengan Allah, dan membuat seseorang merasa jauh dari kedudukan yang tinggi di akhirat kelak, dimana dia akan ditanya tentang kenikmatan dunia yang telah ia peroleh, sebagaimana firman Allah,

“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At-Takaatsur: 6)

Perasaan seperti ini akan mendorong seorang hamba untuk hidup zuhud.

3. Dunia hanya akan didapatkan dengan susah payah dan kerja keras, mengorbankan tenaga dan pikiran yang sangat banyak, dan kadang-kadang terpaksa harus bergaul dengan orang-orang yang berperangai jahat dan buruk. Berbeda halnya jika menyibukkan diri dengan berbagai macam ibadah; jiwa menjadi tentram dan hati merasa sejuk, menerima takdir Allah dengan tulus dan sabar, ditambah akan menerima balasan di akhirat. Dua hal di atas jelas berbeda dan (setiap orang) tentu akan memilih yang lebih baik dan kekal.

4. Merenungkan ayat-ayat Al-Qur’an yang banyak menyebutkan tentang kehinaan dan kerendahan dunia serta kenikmatannya yang menipu (manusia). Dunia hanyalah tipu daya, permainaan dan kesia-siaan belaka. Allah mencela orang-orang yang mengutamakan kehidupan dunia yang fana ini daripada kehidupan akhirat, sebagaimana dalam firman-Nya,

“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Naaziat: 37-39)

Dalam ayat yang lainnya Allah berfirman,

“Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’laa: 16-17)

Semua dalil-dalil, baik dari Al-Qur’an maupun as-Sunnah, mendorong seorang yang beriman untuk tidak terlalu bergantung kepada dunia dan lebih mengharapkan akhirat yang lebih baik dan lebih kekal.

Zuhud yang Bermanfaat dan Sesuai Dengan Syariat

Zuhud yang disyariatkan dan bermanfaat bagi orang yang menjalaninya adalah zuhud yang dicintai oleh Allah dan rasul-Nya, yaitu meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat demi menggapai kehidupan akhirat. Adapun sesuatu yang memberi manfaat bagi kehidupan akhirat dan membantu untuk menggapainya, maka termasuk salah satu jenis ibadah dan ketaatan. Sehingga berpaling dari sesuatu yang bermanfaat merupakan kejahilan dan kesesatan sebagaimana sabda Nabi,

“Carilah apa yang bermanfaat bagi dirimu dan mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah.” (HR. Muslim hadits no. 4816)

Yang bermanfaat bagi seorang hamba adalah beribadah kepada Allah, menjalankan ketaatan kepada-Nya dan kepada rasul-Nya. Dan semua yang menghalangi hal ini adalah perkara yang mendatangkan kemudharatan dan tidak bermanfaat. Yang paling berguna bagi seorang hamba adalah mengikhlaskan seluruh amalnya karena Allah. Orang yang tidak memperhatikan segala yang dicintai dan dibenci oleh Allah dan rasul-Nya akan banyak menyia-nyiakan kewajiban dan jatuh ke dalam perkara yang diharamkan; meninggalkan sesuatu yang merupakan kebutuhannya seperti makan dan minum; memakan sesuatu yang dapat merusak akalnya sehingga tidak mampu menjalankan kewajiban; meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar; meningalkan jihad di jalan Allah karena dianggap mengganggu dan merugikan orang lain. Pada akhirnya, orang-orang kafir dan orang-orang jahat mampu menguasai negeri mereka dikarenakan meninggalkan jihad dan amar ma’ruf -tanpa ada maslahat yang nyata-.

Allah berfirman,

“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, ‘Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh.'” (QS. Al-Baqarah: 217)

Allah menjelaskan dalam ayat ini, walaupun membunuh jiwa itu merupakan keburukan, akan tetapi fitnah yang ditimbulkan oleh kekufuran, kezaliman dan berkuasanya mereka (orang-orang kafir) lebih berbahaya dari membunuh jiwa. Sehingga menghindari keburukan yang lebih besar dengan melakukan keburukan yang lebih ringan adalah lebih diutamakan. Seumpama orang yang tidak mau menyembelih hewan dengan dalih bahwa perbuatan tersebut termasuk aniaya terhadap hewan. Orang seperti ini adalah jahil, karena hewan tersebut pasti akan mati. Disembelihnya hewan tersebut untuk kepentingan manusia adalah lebih baik daripada mati tanpa mendatangkan manfaat bagi seorang pun. Manusia lebih sempurna dari hewan, dan suatu kebaikan tidak mungkin bisa sempurna untuk manusia kecuali dengan memanfaatkannya, baik untuk dimakan, dijadikan sebagai kendaraan atau yang lainya. Yang dilarang oleh Nabi adalah menyiksanya dan tidak menunaikan hak-haknya yang telah tetapkan oleh Allah.

Nabi bersabda,

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat baik atas segala sesuatu, maka jikalau kalian membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kalian menyembelih maka sembelihlah dengan baik, hendaklah salah seorang diantara kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan sembelihannya.” (HR. Muslim hadits no. 3615)

Zuhud yang Bid’ah dan Menyelisihi Syari’at

Zuhud yang menyelisihi Sunnah tidak ada kebaikan sama sekali di dalamnya. Karena ia menganiaya hati dan membutakannya, membuat agama menjadi buruk dan hilang nilai-nilai kebaikannya yang diridhai oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya, menjauhkan manusia dari agama Allah, menghancurkan peradaban, dan memberi kesempatan bagi musuh-musuh Islam untuk menguasai mereka; merendahkan kemuliaan seseorang serta menjadikan seorang hamba menyembah kepada selain Allah. Berikut ini beberapa perkataan para penyeru zuhud yang menyelisihi petunjuk Nabi.

Perkataan Junaid, salah seorang penyeru zuhud yang menyelisihi syariat, “Saya senang kalau seorang pemula dalam kezuhudan tidak menyibukkan diri dengan tiga perkara agar tidak berubah keadaannya, yaitu bekerja untuk mendapatkan rezeki, menuntut ilmu hadist, dan menikah. Dan lebih aku senangi jika seorang sufi tidak membaca dan menulis agar niatnya lebih terarah.” (Kitab Quatul-Qulub 3/135, kitab karya Junaid).

Perkataan Abu Sulaiman ad-Darani, “Jika seseorang telah menuntut ilmu, pergi mencari rezeki atau menikah, maka dia telah bersandar kepada dunia.” (Kitab Al-Futuhat Al-Makiyah, 1/37).

Padahal telah dimaklumi bahwa semua peradaban di dunia ini tidak mungkin tegak dan berkembang kecuali dengan tiga perkara, yaitu dengan bekerja, mencari ilmu, dan menikah demi meneruskan keturunan manusia. Rasulullah sendiri telah memerintahkan kita bekerja mencari rezeki sebagaimana dalam sabda beliau,

“Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik daripada hasil kerja tangannya sendiri. Sesungguhnya nabi Allah, Dawud, makan dari hasil kerja tangannya.” (HR. Bukhari, III/8 hadits no. 1930)

Dan Rasulullah telah memerintahkan umatnya untuk menikah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah mempunyai kemampuan (lahir dan batin) untuk menikah, maka hendaklah dia menikah. Sesungguhnya pernikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan menjaga kehormatan. Sedangkan untuk yang tidak mampu, hendaklah berpuasa karena puasa itu dapat menjaganya (yaitu benteng nafsu).” (HR. Bukhari, VI/117)

Beliau juga memerintahkan kaum muslimin menuntut ilmu, baik ilmu agama maupun dunia, sebagaimana sabdanya,

“Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim.” (Ibnu Majah hadits no. 220. Hadist Sahih, lihat Kitab Al-Jami’ As-Shahih no. 3808 karya Al-Bani)

Wajib di sini adalah dalam menuntut ilmu agama. Adapun ilmu duniawi, tidak ada seorang pun yang berselisih tentang pentingnya ilmu tersebut, baik berupa ilmu kesehatan, ilmu perencanaan maupun ilmu lainnya yang manusia tidak mungkin terlepas darinya. Terpuruknya kaum muslimin ke dalam jurang kehinaan dan kemunduran pada masa sekarang ini tidak lain akibat kelalaian mereka dalam menuntut ilmu agama yang benar, merasa cukup dengan ilmu duniawi yang mereka ambil dari musuh-musuh mereka dalam berbagai macam aspek kehidupan, baik yang besar maupun yang kecil, banyak maupun sedikit, yang semuanya berujung kepada kebinasaan, hilangnya agama, akhlak, dan hal-hal utama lainnya.

Khatimah

Sebagai penutup tulisan ini, marilah kita lihat bagaimana kehidupan generasi pertama dan terbaik dari umat ini, generasi sahabat yang hidup di bawah naungan wahyu Ilahi dan didikan Nabi. Salah seorang tokoh generasi tabi’in, Imam al-Hasan al-Bashri berkata, “Aku telah menjumpai suatu kaum dan berteman dengan mereka. Tidaklah mereka itu merasa gembira karena sesuatu yang mereka dapatkan dari perkara dunia, juga tidak bersedih dengan hilangnya sesuatu itu. Dunia di mata mereka lebih hina daripada tanah. Salah seorang di antara mereka hidup satu atau dua tahun dengan baju yang tidak pernah terlipat, tidak pernah meletakkan panci di atas perapian, tidak pernah meletakkan sesuatu antara badan mereka dengan tanah (beralas) dan tidak pernah memerintahkan orang lain membuatkan makanan untuk mereka. Bila malam tiba, mereka berdiri di atas kaki mereka, meletakkan wajah-wajah mereka dalam sujud dengan air mata bercucuran di pipi-pipi mereka dan bermunajat kepada Allah agar melepaskan diri mereka dari perbudakan dunia. Ketika beramal kebaikan, mereka bersungguh-sungguh dengan memohon kepada Allah untuk menerimanya. Apabila berbuat keburukan, mereka bersedih dan bersegera meminta ampunan kepada Allah. Mereka senantiasa dalam keadaan demikian. Demi Allah, tidaklah mereka itu selamat dari dosa kecuali dengan ampunan Allah. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepada mereka.” Wallahu A’lam.