Tidak disangsikan lagi bahwa adanya perbedaan antara kata dan realita adalah salah satu hal yang sangat berbahaya. Itulah sebab datangnya murka Allah sebagaimana firman-Nya surat Shaff ayat 2 dan 3.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ . كَبُرَ
مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لا تَفْعَلُونَ
“Wahai
orang-orang yang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak
kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. As-Shaff: 2-3)
Allah juga mencela perilaku Bani Israil dengan firman-Nya,
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلا تَعْقِلُونَ
“Mengapa
kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan
diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)?
Maka tidaklah kamu berpikir?” (QS. Al-Baqarah: 44)
Demikian
pula terdapat dalam hadits. Dari Usamah, aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan didatangkan seorang pada
hari kiamat lalu dicampakkan ke dalam neraka. Di dalam neraka orang
tersebut berputar-putar sebagaimana keledai berputar mengelilingi mesin
penumbuk gandum. Banyak penduduk neraka yang mengelilingi orang tersebut
lalu berkata, ‘Wahai Fulan, bukankah engkau dahulu sering memerintahkan
kebaikan dan mencegah kemungkaran?’ Orang tersebut menjawab, ‘Sungguh
dulu aku sering memerintahkan kebaikan namun aku tidak melaksanakannya.
Sebaliknya aku juga melarang kemungkaran tapi aku menerjangnya.'” (HR
Bukhari dan Muslim)
Berkaitan
dengan para penceramah, dai dan mubaligh bahkan terdapat hadits khusus.
Dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda, “Saat malam Isra’ Mi’raj aku
melintasi sekelompok orang yang bibirnya digunting dengan gunting dari
api neraka.” “siapakah mereka”, tanyaku kepada Jibril. Jibril
mengatakan, “mereka adalah orang-orang yang dulunya menjadi penceramah
ketika di dunia. Mereka sering memerintahkan orang lain melakukan
kebaikan tapi mereka lupakan diri mereka sendiri padahal mereka membaca
firman-firman Allah, tidakkah mereka berpikir?” (HR. Ahmad, Abu Nu’aim
dan Abu Ya’la. Menurut al-Haitsami salah satu sanad dalam riwayat Abu
Ya’la para perawinya adalah para perawi yang digunakan dalam kitab
shahih)
Dalil-dalil
di atas menunjukkan pengingkaran keras terhadap orang yang punya ilmu
tapi tidak mengamalkan ilmunya. Inilah salah satu sifat orang-orang
Yahudi yang dicap sebagai orang-orang yang mendapatkan murka Allah
disebabkan mereka berilmu namun tidak beramal.
Oleh
karena itu, Ibnu Qudamah mengatakan, “Ketika berkhutbah seorang khatib
dianjurkan untuk turut meresapi apa yang dia nasihatkan kepada banyak
orang.” (Al-Mughni, 3/180)
Ali
bin Abi Thalib mengatakan, “Duhai orang-orang yang memiliki ilmu
amalkanlah ilmu kalian. Orang yang berilmu secara hakiki hanyalah orang
yang mengamalkan ilmu yang dia miliki sehingga amalnya selaras dengan
ilmunya. Suatu saat nanti akan muncul banyak orang yang memiliki ilmu
namun ilmu tersebut tidaklah melebihi kerongkongannya sampai-sampai ada
seorang yang marah terhadap muridnya karena ngaji kepada guru yang
lain.” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah, 2/53)
Abu
Darda radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “tanda kebodohan itu ada tiga;
pertama mengagumi diri sendiri, kedua banyak bicara dalam hal yang tidak
manfaat, ketiga melarang sesuatu namun melanggarnya. (Jami’ Bayan
Al-Ilmi wa Fadhlih, 1/143)
Jundub
bin Abdillah Al-Bajali mengatakan, “gambaran yang tepat untuk orang
yang menasihati orang lain namun melupakan dirinya sendiri adalah
laksana lilin yang membakar dirinya sendiri untuk menerangi
sekelilingnya.” (Jami’ Bayan Ilmi wa Fadhlih, 1/195)
Bahkan
sebagian ulama memvonis gila orang yang pandai berkata namun tidak
mempraktekkannya karena Allah berfirman, “Tidakkah mereka berakal?” (QS.
Al-Baqarah: 44)
Sungguh
tepat syair yang disampaikan oleh manshur al-Fakih, “Sungguh ada orang
yang menyuruh kami untuk melakukan sesuatu yang tidak mereka lakukan,
sungguh orang-orang gila. Dan sungguh mereka tidaklah berterus terang.”
(Tafsir Qurthubi, 1/410)
Berikut
ini, beberapa perkataan salafus shalih berkaitan dengan masalah ini
sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Ilmi
wa Fadhlih :
Siapa
saja yang Allah halangi untuk mendapatkan ilmu maka Allah akan
menyiksanya karena kebodohannya. Orang yang lebih keras siksaannya
adalah orang yang ilmu itu datang kepadanya tapi dia berpaling
meninggalkan ilmu. Demikian pula orang yang Allah berikan kepadanya ilmu
tapi tidak diamalkan.
Ubay
bin Ka’ab mengatakan, “Pelajarilah ilmu agama dan amalkanlah dan
janganlah kalian belajar untuk mencari decak kagum orang. Jika kalian
berumur panjang segera akan muncul satu masa di masa tersebut orang
mencari decak kagum orang lain dengan ilmu yang dia miliki sebagaimana
mencari decak kagum dengan pakaian yang dikenakan.
Abdullah
ibn Mas’ud mengatakan, “semua orang itu pintar ngomong. Oleh karenanya
siapa yang perbuatannya sejalan dengan ucapannya itulah orang yang
dikagumi. Akan tetapi bila lain ucapan lain perbuatan itulah orang yang
mencela dirinya sendiri.
Al-Hasan
Bashri mengatakan, “Nilailah orang dengan amal perbuatannya jangan
dengan ucapannya. Sesungguhnya semua ucapan itu pasti ada buktinya.
Berupa amal yang membenarkan ucapan tersebut atau mendustakannya. Jika
engkau mendengar ucapan yang bagus maka jangan tergesa-gesa menilai
orang yang mengucapkannya sebagai orang yang bagus. Jika ternyata
ucapannya itu sejalan dengan perbuatannya itulah sebaik-baik manusia.”
Imam
Malik menyebutkan bahwa beliau mendapatkan berita al-Qasim bin Muhammad
yang mengatakan, “Aku menjumpai sejumlah orang tidak mudah terkesima
dengan ucapan namun benar-benar salut dengan amal perbuatan.”
Abu
Darda mengatakan, “Sebuah kecelakaan bagi orang yang tidak tahu
sehingga tidak beramal. Sebaliknya ada 70 kecelakaan untuk orang yang
tahu namun tidak beramal.”
Tidak
diragukan lagi bahwa permisalan orang yang beramar makruf nahi mungkar
adalah seperti dokter yang mengobati orang lain. Satu hal yang memalukan
ketika seorang dokter bisa menyebutkan obat yang tepat untuk pasiennya
demikian pula tindakan preventif untuk mencegah penyakit pasiennya
kemudian ternyata dia sendiri tidak menjalankannya. Berdasarkan
keterangan yang lewat, jelas sudah betapa bahaya hal ini, karenanya
menjadi kewajiban setiap da’i dan muballigh untuk memperhatikannya.
Karena jika obyek dakwah mengetahui hal ini maka mereka akan mengejek
sang pendakwah. Belum lagi hukuman di akhirat nanti dan betapa besar
dosa yang akan dipikul nanti.
Sebagian
orang tidak mau melaksanakan amar makruf dan nahi mungkar karena merasa
belum melakukan yang makruf dan masih melanggar yang mungkar. Orang
tersebut khawatir termasuk orang yang mengatakan apa yang tidak dia
lakukan.
Sa’id
bin Jubair mengatakan, “Jika tidak boleh melakukan amar makruf dan nahi
mungkar kecuali orang yang sempurna niscaya tidak ada satupun orang
yang boleh melakukannya.” Ucapan Sa’id bin Jubair ini dinilai oleh Imam
Malik sebagai ucapan yang sangat tepat. (Tafsir Qurthubi, 1/410)
Al-Hasan
Al-Bashri pernah berkata kepada Mutharrif bin Abdillah, “Wahai
Mutharrif nasihatilah teman-temanmu.” Mutharrif mengatakan, “Aku
khawatir mengatakan yang tidak ku lakukan.” Mendengar hal tersebut,
Hasan Al-Bashri mengatakan, “Semoga Allah merahmatimu, siapakah di
antara kita yang mengerjakan apa yang dia katakan, sungguh setan
berharap bisa menjebak kalian dengan hal ini sehingga tidak ada seorang
pun yang berani amar makruf nahi mungkar.” (Tafsir Qurthubi, 1/410)
Al-Hasan
Al-Bashri juga pernah mengatakan, “Wahai sekalian manusia sungguh aku
akan memberikan nasihat kepada kalian padahal aku bukanlah orang yang
paling shalih dan yang paling baik di antara kalian. Sungguh aku
memiliki banyak maksiat dan tidak mampu mengontrol dan mengekang diriku
supaya selalu taat kepada Allah. Andai seorang mukmin tidak boleh
memberikan nasihat kepada saudaranya kecuali setelah mampu mengontrol
dirinya niscaya hilanglah para pemberi nasihat dan minimlah orang-orang
yang mau mengingatkan.” (Tafsir Qurthubi, 1/410)
Untuk
mengompromikan dua hal ini, Imam Baihaqi mengatakan, “Sesungguhnya yang
tidak tercela itu berlaku untuk orang yang ketaatannya lebih dominan
sedangkan kemaksiatannya jarang-jarang. Di samping itu, maksiat tersebut
pun sudah ditutup dengan taubat. Sedangkan orang yang dicela adalah
orang yang maksiatnya lebih dominan dan ketaatannya jarang-jarang.”
(Al-Jami’ Li Syuabil Iman, 13/256)
Sedangkan
Imam Nawawi mengatakan, “Para ulama menjelaskan orang yang melakukan
amar makruf dan nahi mungkar tidaklah disyaratkan haruslah orang yang
sempurna, melaksanakan semua yang dia perintahkan dan menjauhi semua
yang dia larang. Bahkan kewajiban amar makruf itu tetap ada meski orang
tersebut tidak melaksanakan apa yang dia perintahkan. Demikian pula
kewajiban nahi mungkar itu tetap ada meski orangnya masih mengerjakan
apa yang dia larang. Hal ini dikarenakan orang tersebut memiliki dua
kewajiban, pertama memerintah dan melarang diri sendiri, kedua
memerintah dan melarang orang lain. Jika salah satu sudah ditinggalkan
bagaimanakah mungkin hal itu menjadi alasan untuk meninggalkan yang
kedua.” (Al-Minhaj, 1/300)
Ibnu
Hajar menukil perkataan sebagian ulama, “Amar makruf itu wajib bagi
orang yang mampu melakukannya dan tidak khawatir adanya bahaya menimpa
dirinya meskipun orang yang melakukan amar makruf tersebut dalam kondisi
bermaksiat. Secara umum orang tersebut tetap mendapatkan pahala karena
melaksanakan amar makruf terlebih jika kata-kata orang tersebut sangat
ditaati. Sedangkan dosa yang dia miliki maka boleh jadi Allah ampuni dan
boleh jadi Allah menyiksa karenanya. Adapun orang yang beranggapan
tidak boleh beramar makruf kecuali orang yang tidak memiliki cacat maka
jika yang dia maksudkan bahwa itulah yang ideal maka satu hal yang baik.
Jika tidak maka anggapan tersebut berkonsekuensi menutup pintu amar
makruf jika tidak ada orang yang memenuhi kriteria.” (Fathul Baari,
14/554)